Pertempuran Lima Hari di Semarang

Pertempuran Lima Hari di Semarang disulut ketika Kepala Laboratorium Malaria PURUSARA (Pusat Rumah Sakit Rakyat) dr. Kariadi ditembak oleh pasukan Jepang yang mencegatnya di Jalan Pandanaran saat akan memeriksa persediaan air minum di Jalan Wungkal, Candi Lama yang konon telah ditaburi racun oleh pasukan Jepang. Berita gugurnya dr. Kariadi dengan cepat tersebar dan akhirnya menyulut kemarahan warga Semarang. Keesokan harinya, 15 Oktober 1945, Mayor Kido Shinichiro memerintahkan sekitar 1.000 pasukan Jepang untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, Pemuda di Semarang didukung Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menyambut kedatangan pasukan Jepang tersebut ke pusat kota. Pertempuran pun terjadi di empat titik di Semarang, yaitu di daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima. Pertempuran diawali ketika pasukan Jepang bergerak melalui daerah Candi Lama kemudian menyerang markas TKR dan polisi di Jombang dan Bangkong, berhasil menangkap beberapa Pemuda di sana dan mengeksekusinya (Salawati &  Purnomo 2021: 187). Serangan tersebut dibalas oleh pihak Indonesia dengan membakar gudang amunisi Jepang.

Pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Pasukan Jepang berhasil menduduki daerah Semarang Timur, Candi Lama dan Candi Baru, Simpang Lima, dan Pandanaran. Selanjutnya, TKR, Polisi Istimewa, dan Pemuda menyerbu pasukan Jepang yang berkedudukan di Pasar Johar dan kemudian berhasil menyelamatkan beberapa orang yang menjadi tawanan pasukan Jepang di Sekolah Kepandaian Putri di Sayangan. Pada 16 Oktober 1945, pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayor Kido Shinichiro berhasil merebut Penjara Bulu dan melakukan eksekusi terhadap tawanan dalam skala besar, sembari terus melancarkan serangan lainnya (Siong 1996: 390–391). Keesokan harinya,  17 Oktober 1945, Gubernur Jawa Tengah, K.R.M.T. Wongsonegoro, dibawa ke Penjara Bulu untuk menyaksikan mayat-mayat pasukan Jepang yang terbunuh. Sesuai kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan Panglima Legiun/Angkatan Darat ke-16 Jepang di Jawa, Gubernur K.R.M.T. Wongsonegoro mengumumkan adanya kesepakatan damai untuk menyelenggarakan genjatan senjata dengan pasukan Jepang.

Pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang hingga 19 Oktober 1945, di mana pasukan Jepang melakukan serangan untuk merebut pelabuhan. Pada saat itu, seluruh wilayah Semarang seperti kembali di bawah pendudukan Jepang (Tio 2002: 193). Pada hari yang sama, kapal yang mengangkut militer Britania HMS Glenroy berlabuh di Semarang dan menurunkan pasukan brigade Britania-India di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Bethell sebagai pihak Sekutu. Kedatangan pasukan Sekutu, yang juga diboncengi oleh NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie), tentunya bertujuan untuk mengurus tawanan perang dan pasukan Jepang yang masih berada di Jawa Tengah.

Pada akhirnya, setelah lima hari pertempuran di Semarang, pada 20 Oktober 1945, diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Kasman Singodimedjo dan R.M. Sartono, pasukan Jepang yang diwakili oleh Komandan Pasukan Jepang Letnan Kolonel Nomura, serta pasukan Sekutu yang diwakili oleh Brigadir Jenderal Bethell. Hasil perundingan tersebut adalah penghentian tembak menembak dan permusuhan serta pasukan Jepang diminta untuk membebaskan orang Indonesia yang ditawan dan tentara Jepang dikonsinyir pada markas mereka (Salawati & Purnomo, 2021: 187).

Sementara itu, pasukan TKR dan laskar-laskar lainnya mundur ke Jrakah, Tugu, Srondol, Mranggen dan Genuk untuk menghadapi perkembangan pertempuran lebih lanjut (Tio 2002: 193). Pihak Sekutu kemudian melucuti seluruh persenjataan dan menawan para pasukan Jepang pada hari yang sama. Dengan dilucutinya senjata pasukan Jepang, maka peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang pun resmi berakhir. Pertempuran tersebut diperkirakan membawa korban jiwa sekitar 500-850 orang Jepang dan sekitar 2.000 orang Indonesia, terutama di Semarang (Ricklefs 2007: 436). Peristiwa Pertempuran Lima Hari ini kemudian dikenang dengan pembangunan “Tugu Muda” di daerah Simpang Lima, Kota Semarang, yang diresmikan pada 20 Mei 1953, oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno.