Sejarah Lubang Buaya dan Asal Usulnya, Mengapa Disebut Lubang Buaya?

HISTORY
Rabu, 17 April 2024 11:24 WIB

Jakarta – Sejarah Lubang Buaya dikenal sebagai tempat pembuangan tujuh jenazah korban pemberontakan G30S PKI. Seperti diketahui, aksi G30S PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Oleh karena itu, setiap tanggal 30 September diperingati sebagai Hari G30S PKI. Berikut penjelasan selengkapnya soal sejarah Lubang Buaya.

Sejarah Lubang Buaya, Ini Lokasinya

Lokasi Lubang Buaya berada di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Lubang Buaya menjadi tempat pembuangan perwira Angkatan Darat yang menjadi korban G30S PKI. Tubuh mereka dimaksukkan ke dalam lubang kecil, sehingga lebih dari satu orang menumpuk di dalamnya.

Para korban yang sudah dievakuasi dari Lubang Buaya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.

 

Sejarah Lubang Buaya dikenal sebagai tempat pembuangan tujuh jenazah korban pemberontakan G30S PKI. Aksi G30S PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Sejarah Lubang Buaya dikenal sebagai tempat pembuangan tujuh jenazah korban pemberontakan G30S PKI. Aksi G30S PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965. (Foto: Agung Pambudhy)

Mengapa Disebut Lubang Buaya? Ini Asal Usulnya

Mengutip dari situs Perpustakaan Badan Standarisasi Nasional (BSN), lokasi tersebut diberi nama Lubang Buaya karena masyarakat sekitar mempercayai sebuah legenda yang menyebutkan ada banyak buaya putih yang hidup di dekat sungai kawasan tersebut. Para buaya itu juga membuat lubang sebagai tempat berkumpul. Oleh karena itu, lokasi tersebut dinamakan Lubang Buaya.

Lubang Buaya saat peristiwa G30S PKI adalah pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat ini, di tempat tersebut berdiri Lapangan Peringatan Lubang Buaya yang berisi Monumen Pancasila, sebuah museum hingga sumur kecil tempat para korban G30S PKI dibuang.

Selain itu, terdapat rumah yang menjadi tempat ke tujuh Pahlawan Revolusi disiksa dan dibunuh. Ada juga mobil jadul yang digunakan untuk mengangkut para korban pemberontakan G30S PKI.

Daftar Pahlawan Revolusi yang Dibuang di Lubang Buaya

Ada tujuh Pahlawan Revolusi yang menjadi korban pemberontakan G30S PKI. Setelah diculik, mereka disiksa, dibunuh, kemudian jenazahnya dimasukkan ke dalam Lubang Buaya secara bertumpuk. Adapun nama-nama tujuh Pahlawan Revolusi tersebut, di antaranya:

  • Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani
  • Mayor Jenderal Raden Soeprapto
  • Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono
  • Mayor Jenderal Siswondo Parman
  • Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan
  • Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo
  • Lettu Pierre Andreas Tendean.

Apakah 30 September 2022 Libur?

Setelah mengetahui sejarah Lubang Buaya, muncul pertanyaan apakah tanggal 30 September 2022 libur? Tanggal 30 September 2022 diperingati sebagai Hari G30S PKI. Berdasarkan SKB 3 Menteri Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2022, tidak ada tanggal merah di bulan September 2022. Hal tersebut menandakan tanggal 30 September 2022 bukan tanggal merah, hanya diperingati sebagai Hari G30S PKI.

Kisah Pertama Kali Emas Ditemukan di Papua dan Masuknya Freeport

HISTORY
Selasa, 14 April 2024 14:20 WIB

Jakarta – pengambil alihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga 51% telah dimulai. Hal ini ditandai dengan penandatangan Head of Agreement (HoA) dalam rangka pengambilalihan saham PTFI kemarin.

Namun, patut diketahui adanya PTFI di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Adanya PTFI tak lepas dari penemuan salah satu satu tambang terbesar di dunia tersebut. Bagaimana ceritanya?

Hal itu bermula dari kejengkelan Jean Jacques Dozy yang saat itu membaca berita dari sebuah surat kabar. Saat itu, Dozy sedang berada di markas Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), Babo, Papua Barat, pertengahan 1936.

Hal yang membuat jengkel Dozy kala itu ialah berita jika Jepang ingin mendaki Puncak Cartensz di Papua Barat. Kejengkelan itu beralasan, jika orang Jepang menjadi yang pertama mencapai Puncak Cartensz, bisa dipastikan mereka akan memperluas wilayah jajahannya.

Dia bersama dua rekannya, AH Colijn dan Franz Wissel tak ingin hal itu sampai terjadi.

“Sehingga disepakati bahwa mereka sebagai orang Belanda harus menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Cartensz,” kata Greg Poulgrain dalam buku karyanya ‘The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John F Kennedy and Allen Dulles’ seperti pernah dikutip detikcom, Rabu (5/9/2017).

Dozy bekerja di NNGPM sebagai kepala ahli geologi minyak dan bumi. Sementara, Colijn adalah manajer anak perusahaan Royal Ducth Shell yang dalam ekspedisi ke Puncak Cartensz ditetapkan sebagai pemimpin rombongan.

Lalu, Wissel merupakan pilot angkatan laut Belanda yang kemudian bekerja di Perusahaan Minyak Batavia atau Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Dia ditempatkan di Kalimantan untuk melakukan pemetaan udara. Sebelum ekspedisi, terlebih dahulu dilakukan survei udara. Jalur ekspedisi direncanakan dari pesawat.

“Suatu hari ketika kami mendapat pesawat udara amfibi tua jenis Sikorsky, kami melakukan penerbangan pengintaian dan melihat pegunungan, dan perlahan-lahan, satu per satu rencana mulai dikembangkan,” kata Dozy kepada Poulgrain pada 1982.

Pada 23 Oktober 1936, Colijn dan Dozy meninggalkan Babo dengan Kapal Albatros menuju Aika, wilayah terisolir yang menjadi gudang Timah. Sementara Wissel menerjunkan pasokan logistik di Aika dengan dibantu sejumlah kuli pengangkut barang.

Mereka bertiga kemudian mendaki Puncak Cartensz. Ada 38 orang dari Kalimantan yang menemani ketiganya. Namun hanya beberapa yang kuat bertahan karena memang medan yang terjal.

Di ketinggian 4.000 meter, ketiganya yakni Dozi, Colijn dan Wissel mencapai padang rumput sesuai dengan yang mereka lihat saat survei melalui udara.

“Di situlah Dozy menemukan singkapan pegunungan yang dinamai Erstberg,” tulis Poulgrain.

Kepada Poulgrain, Dozy mengatakan bahwa, tidak ada batu lain di Erstberg kecuali bijih. Dalam kondisi basah dan dingin di ketinggian itu, bau bijih bisa dirasakan hingga di seluruh pedesaan bahkan saat gunung belum terlihat.

Sekitar dua kilometer dari Erstberg, Dozy dan kawan-kawan menemukan Gerstberg yang kemudian digambarkan sebagai tempat penyimpanan emas terbesar di dunia. Pada 5 Desember 1936 mereka bertiga mencapai Puncak Cartensz.

Selanjutnya, mereka kembali di Babo tepat pada 25 Desember 1936. Hasil temuan Dozy, Colijn dan Wissel tersebut kemudian disusun dalam sebuah laporan yang disimpan di salah satu perpustakaan di Belanda. Petinggi pemerintah Belanda maupun elite perusahaan minyak kala itu menyimpan rapat-rapat temuan tersebut.

Hingga pada 1959 Direktur Eksplorasi Freeport Sulphur Company, Forbes Wilson bertemu dengan Jan Van Gruisen, Managing Director Oost Maatchappij, perusahaan Belanda yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.

Tonton juga ‘RI Siap Lahap 51% Saham Freeport, Jokowi Curhat Alotnya Negosiasi’:

Setahun kemudian Freeport melakukan ekspedisi ke Cartensz dipimpin Forbes Wilson & Del Flint. Mereka menjelajah Ertsberg. Wilson menuangkan hasil survei tersebut dalam buku berjudul, ‘The Conquest of Cooper Mountain’.

Menurut Poulgrain pengakuan bahwa Freeport mendapatkan laporan Dozy soal emas Papua dari perpustakaan di Belanda tidak benar.

“Orang yang membuat Forbes Wilson tertarik dengan temuan Dozy ya keluarga dekat Dozy,” kata dia saat bedah bukunya tersebut di Kantor LIPI, jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (5/9/2017).

Tahun 1967 pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur, yang kini menjadi Freeport McMoran menandatangani kontrak karya pertambangan pertama. Freeport mendapat hak melakukan penambangan di Irian Barat.

Mengupas Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas

 

JAKARTA – Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah perairan strategis dengan potensi sumber daya alam yang menggiurkan. Pada riwayatnya, kawasan tersebut telah banyak mendapat klaim dari negara-negara di sekitarnya dan saling diperebutkan.

Secara geografis, Laut China Selatan (LCS) berbatasan dengan beberapa negara. Sebut saja seperti China, Brunei, Filipina, Taiwan, Vietnam hingga Malaysia.

Pada garis besarnya, konflik Laut China Selatan menyeret sejumlah negara, termasuk China. Pada lawannya, Beijing menghadapi negara-negara seperti Taiwan, Filipina hingga Vietnam yang juga mengklaimnya.

Lebih jauh, apa sebenarnya yang mendasari sengketa Laut China Selatan (LCS) ini? Simak ulasannya berikut.

Sejarah Konflik Laut China Selatan

Mengulik Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas
Laut China Selatan

Pada riwayatnya, Laut China Selatan (LCS) merupakan jalur pelayaran yang penting. Tak hanya itu, wilayah tersebut juga memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.

Melihat ke belakang, awal mula konflik LCS bisa ditelusuri sejak 1279. Mengutip laman Beyond The Horizon, Selasa (2/1/2024), kala itu China menggambar peta wilayah pengaruhnya, termasuk memasukkan juga seluruh area Laut China Selatan.

Pada perkembangannya, kendali atas wilayah tersebut sempat berpindah-pindah. Salah satu momen terbesar dari sejarah konflik LCS terjadi pada 1947.

Waktu itu, China membuat sebuah peta Laut China Selatan dengan 9 garis putus-putus. Tak hanya itu, mereka juga mengajukan klaim bahwa wilayah yang masuk “sembilan garis titik” itu telah menjadi bagian teritorialnya.

Lebih jauh, pemerintah China waktu itu semakin memperkuat klaimnya atas dasar sejarah. Mereka menyebut haknya sudah ada sejak berabad-abad lalu ketika rangkaian pulau Paracel dan Spratly dianggap menjadi bagian integral dari China.

Kendati banyak ditentang, Beijing tetap kukuh mempertahankan klaim tersebut. Mereka bahkan sempat menolak untuk memperjelas batasan garis wilayahnya dan tidak menerima klaim dari negara-negara lainnya.

Sejak itu, ketegangan semakin meningkat di Laut Cina Selatan. Terlepas dari tindakan China, negara-negara lain di sekitar LCS jelas menolak klaim Beijing atas wilayah tersebut.

Setelahnya, mulai terjadi sejumlah gesekan dan pertempuran sebagai akibat dari konflik LCS ini. Masalah paling serius dalam beberapa dekade terakhir setidaknya melibatkan China dengan Vietnam dan Filipina.

Demikian ulasan mengenai sejarah konflik Laut China Selatan yang bisa diketahui.

Sejarah Candi Borobudur, Peninggalan Kerajaan Syailendra yang Jadi Warisan Dunia

History
Selasa, 09 April 2024 01:20 WIB

Jakarta – Candi borobudur dibangun sekitar abad ke 8-9 masehi, yakni pada masa kerajaan Syailendra. Salah satu peninggalan budaya terbesar di dunia ini terletak di Kota Magelang, Jawa Tengah.
Keberadaan candi Borobudur secara geografis terletak di antara beberapa pegunungan dan terdapat di sekitar aliran sungai Progo dan Elo.

Istilah Borobudur adalah ucapan yang sering diucapkan Buddha setelah adanya pergeseran bunyi, hingga menjadi Borobudur. Penjelasan lain pun mengatakan bahwa kata Borobudur berasal dari bara dan beduhur. Bara berarti vihara dan beduhur berarti tinggi.

Sejarah Candi Borobudur

Memuliakan Buddha Mahayana
Mengutip buku Kearifan Lokal Jawa Tengah: Tak Lekang Oleh Waktu oleh Retno Susilorini, dijelaskan bahwa filosofi dari bangunan candi Borobudur bisa dilihat dari relief Karmawibhangga yang menggambarkan kehidupan manusia dan memberikan petunjuk pendirinya yakni Raja Samaratungga yang berkuasa pada tahun 782-812 masehi.

Candi yang dibangun pada masa kejayaan Wangsa Syailendra dan didirikan oleh Samaratungga ini bertujuan untuk memuliakan Buddha Mahayana sebagai kepercayaan yang banyak dianut masyarakat pada waktu itu.

Penemuan dan Pemugaran Candi Borobudur

Penemuan candi borobudur sendiri berawal dari perjalanan yang dilakukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles ke kota Semarang.

Kala itu, ia menemukan informasi bahwa di kawasan Kedu (karesidenan yang meliputi Magelang), ada beberapa susunan batu bergambar yang ditutupi semak belukar.

Kemudian pada tahun 1835, Raffles mengutus Cornelius untuk meninjau dan membersihkan bangunan tersebut bersama Residen Kedu.

Adapun pemugaran bagian Arupadhatu (puncak candi) dilakukan oleh Theodore Van Erp pada tahun 1907-1911.

Pemugaran lanjutan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO pada tahun 1973 – 1983. Pemugaran yang dilakukan berfokus pada bagian candi di bawah arupadhatu yang dibersihkan dan dikembalikan ke posisi semula.

Bentuk Bangunan Candi Borobudur

Bangunan candi Borobudur dibedakan menjadi tiga bagian yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.

1. Kamadhatu adalah bagian tingkat pertama hingga tingkat ketiga dari candi Borobudur. Bagian Kamadhatu memiliki relief karmawibhangga yang menggambarkan hukum pada umat manusia.

2. Rupadhatu adalah bagian tingkat keempat hingga keenam candi yang memiliki relief Lalitavistara dan Jatakamala yang menggambarkan kisah hidup sang Buddha.

3. Arupadhatu atau bagian atap candi tingkat ketujuh hingga kesepuluh. Pada bagian ini tidak ada relief namun memiliki banyak stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia.

Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia

Candi Borobudur ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, pada konferensi 15 di Perancis, untuk ditinjau dan diawasi.

Untuk melakukan peninjauan secara khusus warisan dunia ini, pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran candi Borobudur yang diketuai oleh Prof. Ir. Roosseno. UNESCO pun menyediakan sebesar 5 juta dolar AS untuk pemugaran candi Borobudur.

Pemugaran tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1973 dan terjadi hingga tahun 1984. Kemudian pada tahun 1991, candi Borobudur secara resmi ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.

Sejarah Pembangunan Monas [Monumen Nasional]

Menomen ini terletak persis di Pusat Kota Jakarta. Tugu Monas merupakan tugu kebanggaan bangsa Indonesia, selain itu monas juga menjadi salah satu pusat tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga Indonesa baik yang dijakarta maupun di luar Jakarta. Tujuan pembangunan tugu monas adalah untuk mengenang dan mengabadikan kebesaran perjuangan Bangsa Indonesia yang dikenal dengan Revolusi 17 Agustus 1945, dan juga sebagai wahana untuk membangkitkan semangat patriotisme generasi sekarang dan akan datang.

Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir. Rooseno. Pada tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dan mulai dibuka untuk umum sejak tanggal 12 Juli 1975.

Tugu Monas punya ciri khas tersendiri, sebab arsitektur dan dimensinya melambangkan kias kekhususan Indonesia. Bentuk yang paling menonjol adalah tugu yang menjulang tinggi dan pelataran cawan yang luas mendatar. Di atas tugu terdapat api menyala seakan tak kunjung padam, melambangkan keteladanan semangat bangsa Indonesia yang tidak pernah surut berjuang sepanjang masa.

Bentuk dan tata letak Monas yang sangat menarik memungkinkan pengunjung dapat menikmati pemandangan indah dan sejuk yang memesona, berupa taman di mana terdapat pohon dari berbagai provinsi di Indonesia. Kolam air mancur tepat di lorong pintu masuk membuat taman menjadi lebih sejuk, ditambah dengan pesona air mancur bergoyang.

Di dekat pintu masuk menuju pelataran Monas itu juga nampak megah berdiri patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda. Patung yang terbuat dari perunggu seberat 8 ton itu dikerjakan oleh pemahat Italia, Prof Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario di Indonesia.

Gagasan Pembangunan Monas

Gagasan awal pembangunan Monas muncul setelah sembilan tahun kemerdekaan diproklamirkan. Beberapa hari setelah peringatah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.

Panitia yang dibentuk itu bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas yang akan didirikan di tengah lapangan Medan Merdeka, Jakarta . Termasuk mengumpulkan biaya pembangunannya yang harus dikumpulkan dari swadaya masyarakat sendiri.

Setelah itu, dibentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan ”Tim Yuri” diketuai langsung Presiden RI Ir Soekarno. Melalui tim ini, sayembara diselenggarakan dua kali. Sayembara pertama digelar pada 17 Februari 1955, dan sayembara kedua digelar 10 Mei 1960 dengan harapan dapat menghasilkan karya budaya yang setinggi-tingginya dan menggambarkan kalbu serta melambangkan keluhuran budaya Indonesia.

Dengan sayembara itu, diharapkan bentuk tugu yang dibangun benar-benar bisa menunjukan kepribadian bangsa Indonesia bertiga dimensi, tidak rata, tugu yang menjulang tinggi ke langit, dibuat dari beton dan besi serta batu pualam yang tahan gempa, tahan kritikan jaman sedikitnya seribu tahun serta dapat menghasilkan karya budaya yang menimbulkan semangat kepahlawanan.

Oleh Tim Yuri, pesan harapan itu dijadikan sebagai kriteria penilaian yang kemudian dirinci menjadi lima kriteria meliputi harus memenuhi ketentuan apa yang dinamakan Nasional, menggambarkan dinamika dan berisi kepribadian Indonesia serta mencerminkan cita-cita bangsa, melambangkan dan menggambarkan “api yang berkobar” di dalam dada bangsa Indonesia, menggambarkan hal yang sebenarnya bergerak meski tersusun dari benda mati, dan tugu harus dibangun dari benda-benda yang tidak cepat berubah dan tahan berabad-abad.

Namun, dua kali sayembara digelar, tidak ada rancangan yang memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan panitia. Akhirnya, ketua Tim Yuri menunjuk beberapa arsitek ternama yaitu Soedarsono dan Ir F Silaban untuk menggambar rencana tugu Monas. Keduanya arsitek itu sepakat membuat gambarnya sendiri-sendiri yang selanjutnya diajukan ke ketua Tim Yuri (Presiden Soekarno), dan ketua memilih gambar yang dibuat Soedarsono.

Dalam rancangannya, Soedarsono mengemukakan landasan pemikiran yang mengakomodasi keinginan panitia. Landasan pemikiran itu meliputi kriteria Nasional. Soedarsono mengambil beberapa unsur saat Proklamasi Kemerdekaan RI yang mewujudkan revolusi nasional sedapat mungkin menerapkannya pada dimensi arsitekturnya yaitu angka 17, 8, dan 45 sebagai angka keramat Hari Proklamasi.

Bentuk tugu yang menjulang tinggi mengandung falsafah “Lingga dan Yoni” yang menyerupai “Alu”sebagai “Lingga” dan bentuk wadah (cawan-red) berupa ruangan menyerupai “Lumpang” sebagai “Yoni”. Alu dan Lumpang adalah dua alat penting yang dimiliki setiap keluarga di Indonesia khususnya rakyat pedesaan. Lingga dan Yoni adalah simbol dari jaman dahulu yang menggambarkan kehidupan abadi, adalah unsur positif (lingga) dan unsur negatif (yoni) seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, merupakan keabadian dunia.

Bentuk seluruh garis-garis arsitektur tugu ini mewujudkan garis-garis yang bergerak tidak monoton merata, naik melengkung, melompat, merata lagi, dan naik menjulang tinggi, akhirnya menggelombang di atas bentuk lidah api yang menyala. Badan tugu menjulang tinggi dengan lidah api di puncaknya melambangkan dan menggambarkan semangat yang berkobar dan tak kunjung padam di dalam dada bangsa Indonesia.

Proses Pembangunan Monas

Pembangunan tugu Monas dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu tahap pertama (1961-1965), kedua (1966-1968), dan tahap ketiga (1969-1976). Pada tahap pertama pelaksanaan pekerjaannya dibawah pengawasan Panitia Monumen Nasional dan biaya yang digunakan bersumber dari sumbangan masyarakat.

Tahap kedua pekerjaannya masih dilakukan dibawah pengawasan panitia Monas. Hanya saja, biaya pembangunannya bersumber dari Anggaran Pemerintah Pusat c.q Sekertariat Negara RI. Pada tahap kedua ini, pembangunan mengalami kelesuan, karena keterbatasan biaya.

Tahap ketiga pelaksanaan pekerjaan berada dibawah pengawasan Panitia Pembina Tugu Nasional, dan biaya yang digunakan bersumber dari Pemerintah Pusat c.q Direktorat Jenderal Anggaran melalui Repelita dengan menggunakan Daftar Isian Proyek (DIP).

Ruang museum sejarah yang terletak tiga meter dibawah permukaan halaman tugu memiliki ukuran 80X80 meter. Dinding serta lantai di ruang itu pun semuanya dilapisi batu marmer. Di dalam ruangan itu, pengunjung disajikan dengan 51 jendela peragaan (diorama) yang mengabadikan sejarah sejak jaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia, perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia hingga masa pembangunan di jaman orde baru. Di ruangan ini pula, pengunjung juga dapat mendengar rekaman suara Bung Karno saat membacakan Proklamasi.

Ruang Kemerdekaan

Sementara di ruang kemerdekaan yang berbentuk amphitheater terletak di dalam cawan tugu, terdapat empat atribut kemerdekaan meliputi peta kepulauan Negara RI , Lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika, dan pintu Gapura yang berisi naskah Proklamasi Kemerdekaan.

Di pelataran puncak tugu yang terletak pada ketinggian 115 meter dari halaman tugu memiliki ukuran 11X11 meter, pengunjung dapat mencapai pelataran itu dengan menggunakan elevator (lift-red) tunggal yang berkapasitas sekitar 11 orang.

Di pelataran yang mampu menampung sekitar 50 orang itu juga disediakan empat teropong di setiap sudut, dimana pengunjung bisa melihat pemandangan Kota Jakarta dari ketinggian 132 meter dari halaman tugu Monas.

Lidah api yang terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dengan tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter, terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Seluruh lidah api dilapisi lempengan emas seberat 35 kilogram, dan kemudian pada HUT ke-50 RI, emas yang melapisi lidah api itu ditambah menjadi 50 kilogram.

Sejarah Lawang Sewu Semarang, Ternyata Ini Alasan Jendela dan Pintu Dibuat Banyak

Minggu, 07 April 2024| 02:23 WIB

Di sana Anda dapat melihat berbagai koleksi, di antaranya koleksi Alkmaar, mesin Edmonson, mesin hitung, mesin tik, replika lokomotif uap, beberapa surat berharga, dokumentasi pemugaran gedung Lawang Sewu, dan perpustakaan buku-buku tentang kereta api.
Selain menjadi destinasi wisata sejarah, Lawang Sewu juga dapat disewa untuk kegiatan pameran, ruang pertemuan, pemotretan, shooting, pesta pernikahan, festival, Workshop, dan lain-lain.

Bandung Lautan Api: Sejarah dan Pengaruhnya dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Bandung Lautan Api adalah salah satu peristiwa bersejarah yang penuh dengan keberanian dan semangat perjuangan dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada 24 Maret 1946 di Kota Bandung, Jawa Barat, dan memiliki pengaruh yang mendalam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi sejarah Bandung Lautan Api serta pengaruhnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Latar Belakang

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, negara baru ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk usaha-usaha penjajah Belanda untuk merebut kembali kendali atas wilayah Indonesia. Perang Kemerdekaan Indonesia yang sering disebut sebagai Agresi Militer Belanda I dimulai pada tahun 1945. Konflik ini mencapai puncaknya saat Pasukan Belanda mencoba merebut kembali kota Bandung pada Maret 1946.

Peristiwa Bandung Lautan Api

Pada 24 Maret 1946, tentara Belanda yang kuat dengan dukungan senjata dan alat militer modern mendekati Kota Bandung, yang saat itu dikuasai oleh pejuang Indonesia. Walau dalam posisi yang sangat kurang persenjataan, pejuang Indonesia di bawah pimpinan Mayor General TNI Gatot Soebroto berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kota ini.

Selama pertempuran yang berlangsung selama tiga hari, Kota Bandung menjadi saksi perlawanan heroik rakyat Indonesia. Pejuang-pejuang Indonesia menggunakan berbagai sumber daya yang mereka miliki, termasuk senjata tradisional, untuk melawan Pasukan Belanda yang jauh lebih kuat. Salah satu momen paling ikonik adalah ketika Mayor General TNI Gatot Soebroto memerintahkan pejuang untuk melemparkan selongsong granat ke dalam parit, menciptakan “lautan api” yang mengepung pasukan Belanda. Meskipun harus berjuang dalam kondisi yang sulit, pejuang Indonesia berhasil mempertahankan Kota Bandung.

Pengaruh dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Bandung Lautan Api memiliki pengaruh yang signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertama-tama, peristiwa ini menjadi simbol keberanian dan tekad pejuang Indonesia untuk melawan penjajahan. Kisah heroik para pejuang yang berjuang dengan sumber daya yang terbatas melawan musuh yang jauh lebih kuat menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia dan memperkuat semangat persatuan dan perjuangan.

Selain itu, Bandung Lautan Api juga menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan layak diakui sebagai bangsa yang merdeka. Perjuangan ini menjadi bagian dari upaya diplomatik yang mengarah pada Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, yang akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia.

Bandung Lautan Api adalah salah satu peristiwa bersejarah yang penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ini adalah cerminan dari semangat perjuangan dan ketahanan rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajah. Peristiwa ini tidak hanya memengaruhi sejarah Indonesia, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak bangsa yang berjuang untuk meraih kemerdekaan mereka.

Benarkah Nenek Moyang Asli Suku Batak Berasal dari Asia Selatan?

Jumat 05 April 2024 02:30 WIB

APAKAH nenek moyang suku asli Batak berasal dari Asia Selatan akan dibahas dalam artikel kali ini. Suku Batak merupakan suku terbesar ketiga di Indonesia setelah Suku Jawa dan Sunda.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah masyarakat Batak mencapai 8.466.969 jiwa atau 3,58 persen dari seluruh masyarakat di Indonesia.

Suku Batak sendiri menjadi salah satu suku yang mendiami sebagian besar Sumatera Utara dan sekitarnya.

Saat ini, bahkan telah banyak masyarakat keturunan Batak yang mulai bermigrasi ke berbagai daerah di Indonesia untuk keperluan pendidikan ataupun pekerjaan.

Infografis Spot Ciamik Danau Toba

Berbicara soal asal-usul Suku Batak, terdapat banyak versi yang membuat kerancuan di masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya catatan sejarah dan artefak terkait dengan hal ini.

Salah satu versi menyebutkan jika Suku Batak adalah penutur Bahasa Austronesia. Beberapa bukti menunjukkan jika orang berbahasa Austronesia telah berpindah dari Taiwan ke Filipina dan Indonesia sejak 2.500 tahun silam.

Namun dalam buku berjudul ‘Suku-Suku Bangsa di Sumatera’ karya Giyanto menyebutkan hal yang berbeda.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa nenek moyang Suku Batak merupakan kelompok Proto Melayu atau Melayu Tua yang berasal dari Asia Selatan.

Mereka kemudian melakukan migrasi ke Indonesia melalui Sumatera dan melewati Semenanjung Malaya. Setelah tiba di Pulau Sumatera, mereka kemudian menetap di kawasan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara dan membuat sebuah permukiman di daerah Sianjur Mula-Mula.

Seiring dengan berjalannya waktu, permukiman ini terus berkembang hingga menyebar ke daerah-daerah di sekitarnya. Hingga membuat masyarakat Batak tersebar tidak hanya di Sumatera Utara namun juga ke daerah-daerah lain di Pulau Sumatera.

Klan Nomaden yang Hilang, Dengan Bahasanya yang Seperti Lagu

Masyarakat Punan di Pulau Kalimantan pernah dirumorkan memiliki ekor, sehingga terkesan sulit dipahami oleh tetangga mereka pada abad ke-19. Berbeda dengan petani Pribumi yang tinggal di rumah panjang, suku Punan menjelajahi hutan hujan bagian utara pulau itu dalam kelompok keluarga, berburu babi berjanggut, memanen tanaman bertepung, dan mengumpulkan hasil hutan untuk diperdagangkan
Mereka tidak hanya disalahpahami, tapi juga dianiaya. Selama beberapa dekade, pemerintah Indonesia merampas tanah leluhur suku Punan dan mendorong mereka, terkadang secara paksa, untuk menetap di desa-desa yang sudah siap dibangun. Pada tahun 1990-an, para antropolog percaya bahwa gaya hidup tradisional pemburu-pengumpul telah lenyap. Pada tahun 2002, sensus masyarakat Punan di Kalimantan bagian timur hanya terfokus pada desa-desa, karena diperkirakan jumlah penduduk nomaden sangat sedikit.

Dan pada tahun 2018, ketika Stephen Lansing, antropolog di Santa Fe Institute, dan Pradiptajati Kusuma, ahli genetika di Institut Nanoteknologi Mochtar Riady di Tangerang, Indonesia, mengatakan mereka mengetahui tentang sebuah klan yang terdiri dari sekitar 30 keluarga Punan yang berlindung di gua batu kapur dan jarang, jika pernah, muncul dari hutan, banyak ahli yang skeptis. Namun dengan pendanaan dari National Science Foundation, para ilmuwan melakukan kontak dengan kelompok nomaden pada tahun 2018, dan mulai mengumpulkan data dengan tujuan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Setelah perjalanan pertama itu, Dr. Lansing kembali ke Santa Fe dengan membawa foto seorang pria yang mengenakan cawat yang terbuat dari serat kulit kayu, bersama dengan rekaman bahasa lagu yang menurutnya tidak ada duanya. Deskripsi awal tentang orang-orang yang menyebut diri mereka Gua Punan atau Punan Batu ini diterbitkan tahun lalu di jurnal Evolutionary Human Sciences. Laporan pers di media Indonesia mendorong pemerintah daerah untuk mendeklarasikan masyarakat Punan Batu sebagai pengguna tetap hutan mereka , sebuah langkah pertama untuk mendapatkan hak mengelola hutan berdasarkan hukum nasional.

Steve Lansing duduk di kursi di teras sebuah bangunan kayu dengan tulisan memudar di dinding luarnya. Dia memegang peralatan plastik dengan selembar kertas di pangkuannya.
Steve Lansing bersiap memasuki hutan Kalimantan untuk mengunjungi Punan. “Apa yang sangat mereka inginkan,” kata Dr. Lansing, “adalah menghentikan perusakan hutan mereka.”
Pemandangan luas di hutan Dr. Lansing dan lainnya berjalan melalui vegetasi lebat, area berbatu di belakang mereka.
Lansing dan yang lainnya melewati tempat perlindungan batu di Sadau, tempat tinggal suku Punan, berpindah antar daerah.
Sebuah kano dengan dua orang pria di dalamnya tergantung di atas bagian berbatu sungai berwarna coklat yang sibuk di dalam hutan.
Sebuah kano bersama tim Dr. Lansing mengarungi Sungai Sajau.

Beberapa ahli masih ragu apakah kelompok yang tidak biasa ini benar-benar telah terpencil dalam jangka waktu yang lama. Mereka yang skeptis membandingkan pengumuman tersebut dengan pengumuman suku Tasaday, sebuah “suku hilang” yang ditemukan di Filipina pada tahun 1971 , yang keterasingannya pada akhirnya dianggap sebagai sebuah hal yang berlebihan, atau bahkan sebuah kebohongan.

Bernard Sellato, seorang spesialis Punan di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis, sangat keras dalam kritiknya. Dalam sebuah email, ia menyebut Punan Batu dan kelompok pesisir lainnya sebagai “Punan ‘palsu’.” Berdasarkan catatan sejarah dan etnografi, ia tetap yakin bahwa nenek moyang mereka bukanlah penduduk asli pulau tersebut, melainkan budak yang diimpor dari New Guinea dan Indonesia bagian timur beberapa abad yang lalu.

Namun sebuah studi baru yang berfokus pada DNA Punan Batu, yang baru-baru ini diterima oleh sebuah jurnal ilmiah, siap menghilangkan keraguan semua orang kecuali para kritikus yang paling keras. Berdasarkan terbatasnya keanekaragaman yang terungkap pada gen Punan Batu, mereka tampaknya telah terisolasi selama lebih dari 20 generasi. Pendapat Dr. Sellato bahwa Punan Batu adalah keturunan budak impor tidak sesuai dengan hasil penelitian ini.

Temuan baru ini juga dapat mengakhiri perdebatan yang telah berlangsung selama satu abad tentang kapan suku Punan tiba di Kalimantan, dan bagaimana mereka menjadi pemburu-pengumpul. Dan penelitian ini dapat membantu menunjukkan bahwa masyarakat Punan Batu layak mendapatkan bantuan dalam mengelola hutan mereka, yang terancam oleh perambahan perkebunan kelapa sawit dan operasi kehutanan komersial.

“Apa yang sangat mereka inginkan,” kata Dr. Lansing, “adalah menghentikan perusakan hutan mereka.”

Misteri Punan

Kanopi hutan lebat yang tertutup kabut.

Hutan hujan Kalimantan dilihat dari Jalan Raya Trans Kalimantan.

Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, ditutupi oleh pegunungan terjal, hutan hujan, dan rawa. Populasinya yang berjumlah 21 juta jiwa terbagi di tiga negara: Malaysia dan kerajaan kecil Brunei, di utara, dan Indonesia, yang menguasai tiga perempat wilayah di selatan.

Populasi pulau ini dibentuk oleh gelombang migrasi. Gua-gua di utara digunakan oleh para pemburu-pengumpul Zaman Batu setidaknya 50.000 tahun yang lalu, ketika sebuah jembatan darat menghubungkan pulau itu ke daratan Asia Tenggara. Kelompok Masyarakat Adat masa kini, yang secara kolektif dikenal sebagai Dayak, diperkirakan tiba melalui laut dari Taiwan 4.000 hingga 6.000 tahun yang lalu, dengan membawa beras hasil budidaya.

Dari mana asal Punan tidak jelas. Wilayah lain di Asia Tenggara adalah rumah bagi kelompok pemburu-pengumpul yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama, termasuk kulit gelap, perawakan pendek, dan rambut keriting ketat. Mereka adalah keturunan manusia modern gelombang pertama yang berangkat dari Afrika lebih dari 60.000 tahun lalu dan menuju ke timur, tempat mereka bertemu dan terkadang bercampur dengan hominin yang kini sudah punah .

Namun di Kalimantan, satu-satunya kelompok pemburu-pengumpul yang ditemui oleh penjelajah Eropa awal, yaitu suku Punan, terlihat mirip dengan suku Dayak yang bertani. Dan banyak kelompok Punan, termasuk Punan Batu yang nomaden, telah lama menjalin hubungan dagang dengan masyarakat menetap.

Pada pertengahan tahun 1700-an, sebuah kerajaan Muslim yang dikenal dengan nama Bulungan menguasai sebagian pantai timur laut. Menurut legenda, setelah Punan Batu gagal memberikan istri kepada Sultan, mereka menenangkannya dengan sarang burung walet dari hutan, yang kemudian diekspor ke Tiongkok, dan dihargai untuk dijadikan sup sarang burung walet

Jalan raya Trans Kalimantan yang menangani lalu lintas truk dari perusahaan kelapa sawit.
Tiga peneliti duduk di atas tikar di teras kayu, membungkuk di atas beberapa perangkat GPS sambil merekatkannya ke tali pengikat.
Pradiptajati Kusuma dan Guy Jacobs, anggota tim Dr. Lansing, menyiapkan perangkat GPS yang akan diberikan kepada suku Punan untuk melacak pergerakan mereka melintasi hutan.
Gambar

Abdul Karim berdiri di pos perdagangan kayunya dan mengenakan kemeja berkerah hitam-putih yang bagian atasnya terbuka. Ia memegang sebuah alat besar berbentuk kerucut yang terbuat dari kayu dan bambu.
Abdul Karim dengan alat yang digunakan suku Punan untuk memanen madu dari pucuk pohon.

Punan Batu melakukan pekerjaan berisiko bagi Sultan, mengumpulkan sarang dari gua dan madu dari puncak pohon, serta rotan dan kayu agar-agar yang harum. Sebagai imbalannya, Sultan memberi mereka tembakau, beras, dan peralatan logam. Meskipun mereka tidak lagi hanya bergantung pada makanan pokok dari alam, mereka tetap terisolasi. Pada tahun 1903, seorang penduduk Belanda menggambarkan mereka “berada pada tingkat perkembangan paling rendah.” Tiga puluh tahun kemudian, orang Belanda lainnya, seorang ahli geologi, menyebut mereka sebagai “kelompok terbelakang, yang hampir tidak bisa bercampur dengan suku Punan lainnya.”

Bahkan setelah Kesultanan dibubarkan pada tahun 1959 dan wilayahnya menjadi kabupaten Indonesia, keluarga tersebut tetap memegang kendali atas sumber daya hutannya. Abdul Karim, seorang pria fasih berusia akhir 60-an dan merupakan keturunan Kesultanan, mengatakan bahwa pada tahun 1980-an salah satu kerabatnya yang lebih tua, Pangeran Har, memperlakukan Punan Batu hampir seperti budaknya. Har “sangat ketat terhadap suku Punan,” kata Karim, sambil mengatakan kepada mereka: “Kalian tinggal di hutan, kalian tidak boleh pergi ke kota.”

Sementara itu, para ilmuwan telah lama mempertanyakan gagasan tentang identitas Punan. Pada tahun 1945, Fay-Cooper Cole – seorang antropolog yang membela seleksi alam selama Scopes Monkey Trial – berpendapat bahwa suku Punan bukanlah pemburu-pengumpul penuh waktu. Dia menyarankan agar mereka adalah penduduk desa yang sedang “berkemah”.

Para peneliti selanjutnya mencatat bahwa kelompok Punan di berbagai daerah menggunakan bahasa yang berbeda-beda, sehingga lebih dekat kekerabatannya dengan komunitas Dayak di sekitarnya dibandingkan dengan bahasa Punan lainnya. Mereka berpendapat bahwa suku Punan sebenarnya adalah suku Dayak yang meninggalkan pertanian dan memfokuskan aktivitasnya pada hutan.

‘Kapan ini bisa membuahkan hasil?’

Pemandangan dari udara menghadap ke pintu masuk gua dengan beberapa Punan berkumpul di bebatuan di luar. Pintu masuknya sepenuhnya dikelilingi oleh dedaunan hutan lebat.

Gua Benau, di Kalimantan bagian utara, salah satu yang terbesar di wilayah Punan.

Dr. Lansing datang ke Kalimantan setelah menghabiskan 40 tahun mempelajari petani padi di pulau yang jauh lebih maju di Indonesia, Bali. Di sana, ia menemukan bahwa sistem koordinasi irigasi dan penanaman melalui pertemuan rutin di kuil-kuil setempat yang berusia ribuan tahun memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan penggunaan pupuk dan pestisida. Karyanya, pada tahun 2012, menunjuk pada penetapan lanskap kuil air sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Selama satu dekade terakhir, ia mulai berkolaborasi dengan para peneliti di salah satu laboratorium genetika terkemuka di Indonesia , dalam upaya memahami migrasi manusia di seluruh nusantara. Saat melakukan perjalanan ke Kalimantan pada tahun 2017, ia dan Dr. Kusuma pertama kali mendengar laporan tentang Punan Batu dari seorang pemimpin Punan dari daerah lain, Thomas Mita. Pak Mita menawarkan untuk membimbing para peneliti di sana – dengan harga yang mahal.

Dalam proposal hibahnya dengan National Science Foundation, Dr. Lansing menjelaskan bagaimana ia akan melakukan “ kontak pertama ” dengan Punan Batu, sebuah klaim berani yang berkontribusi terhadap kekhawatiran awal mengenai kredibilitasnya. Para ahli tidak yakin ada kelompok masyarakat adat yang belum dihubungi di Kalimantan. Baru setelah Dr. Lansing membayar Pak Mita untuk membawanya ke sana pada tahun 2018, dia mengetahui bahwa Pak Mita sebelumnya telah membawa masuk orang asing lainnya . “Saya kira dia sedang melakukan tur kecil untuk menemukan ‘primitif eksotik’,” kata Dr. Lansing.

Alih-alih berkecil hati dengan manajemen panggung seperti itu, kejadian tersebut malah membangkitkan rasa penasarannya, karena orang-orang yang ditemuinya menjalankan gaya hidup nomaden dan subsisten yang tidak lagi ada di wilayah lain di Kalimantan. Ketika Dr. Lansing berencana untuk kembali pada tahun 2019 bersama tiga ilmuwan lainnya, dia mengundang saya dan seorang fotografer untuk menemaninya. Kelompok tersebut berencana menghabiskan lima hari berkemah bersama para perantau, melakukan wawancara dan membagikan sabuk GPS untuk mencatat pergerakan mereka.

Sekitar selusin Punan Batu menemui kami pada pagi pertama kami di pos perdagangan Abdul Karim, dimana Kementerian Kesehatan Indonesia mengadakan klinik kesehatan bulanan untuk mereka. Sore harinya, kami semua menaiki armada kecil kano bermotor untuk perjalanan menyusuri Sungai Sajau. Mesin ekor panjang itu menggeram dan meletus ketika perahu-perahu itu bergerak melewati batang-batang kayu yang tumbang dan menyentak arus kecil.

Searah jarum jam dari kiri atas: Bayé bermain dengan ponsel cerdasnya selama perjalanan melintasi hutan; Bagatak Adjong Oga menelusuri namanya pada batu di Gua Benau; Marni dan keluarganya dalam perjalanan hutan; di dalam Gua Benau.

Tiga jam menyusuri sungai yang berkelok-kelok, kami tiba di perkemahan pertama kami. Dr. Lansing dan rombongan turun dari kano dan, keesokan harinya, mendaki bagian bawah gunung kecil, dipandu oleh Punan Batu dan anjing pemburu berwarna coklat berukuran pint. Laki-laki membersihkan jalan setapak melalui hutan berlumpur sementara perempuan menggendong bayi dan harta benda mereka dalam keranjang di punggung mereka.

Seorang pria memegang pistol tiup dan mengenakan kain pinggang dengan celana pendek olahraga biru di bawahnya. Seorang anak laki-laki yang keluarganya tidak lagi tinggal penuh waktu di hutan, membawa pisau mirip parang di bahunya. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya, meski tidak ada sinyalnya. Dia sedang bermain video game.

Di tengah-tengah gunung ada sebuah gua sebesar amfiteater. Gua yang berisi banyak sarang burung walet ini merupakan situs suci bagi suku Punan yang menganggapnya sebagai sumber segala sesuatu. Begitu masuk, seorang pria bernama Ma’ruf duduk di lantai tanah. Dia berusia awal 40-an tetapi tampak setengah usianya, dengan poni yang menukik dan kulit awet muda yang berasal dari kehidupan yang hidup di bawah naungan.

Ketika Ma’ruf masih kecil, dia memberi tahu Dr. Lansing, ayahnya dan dua pria Punan lainnya mencoba mengumpulkan dan menjual sarang burung dari bagian tertinggi gua ini, tetapi tanpa izin Pangeran Har. Mereka ditangkap dan dipenjarakan selama berbulan-bulan; itu adalah masa yang menyedihkan, ketika Ma’ruf dan ibunya berjuang untuk bertahan hidup.

Ma’ruf mulai bersenandung, vokalisasi yang dalam dan kuat keluar dari dadanya dan bergema ke seluruh gua. Kata-kata terbentuk dalam bahasa yang hanya dipahami oleh para tetua. “Saya seperti landak yang datang ke gua untuk beristirahat,” teriaknya, menurut terjemahan rekaman nyanyian yang dibuat oleh Dr. Lansing.

Penyanyi berikutnya adalah seorang pria bertelanjang dada berusia 60an bernama Bo’odon. “Saya adalah teman sejati Anda,” dia bernyanyi untuk Dr. Lansing. “Kapan hal ini bisa membuahkan hasil, saya bertanya pada diri sendiri. Semoga hubungan kita membawa kembali tanah kita kepada kita.”

Seorang ibu memegang seekor burung kecil di tangan kirinya sementara dia dikelilingi oleh beberapa anak kecil. Pos perdagangan Abdul Karim berdiri di latar belakang, dan sang ibu menggendong seorang anak di pangkuannya dengan tangan kanannya, dan seorang bayi di gendongan di sisinya.
Keluarga Ma’ruf, saat singgah di pos perdagangan Abdul Karim.

Bahasa lagu seperti itu mewakili bentuk ekspresi kreatif yang cair. Berbeda dengan bahasa lisan pada umumnya, dimana penutur yang berbeda akan mengidentifikasi objek dan konsep yang sama dengan menggunakan kata-kata yang sama lebih dari 95 persen, hanya terdapat 70 persen tumpang tindih dalam kosa kata yang digunakan oleh penyanyi Punan Batu yang berbeda, menurut daftar kata Dr. Lansing telah berkumpul.

Dr. Lansing bertanya-tanya apakah ada kata-kata yang tidak diketahui dalam lagu-lagu tersebut yang mungkin diturunkan dari para pemburu-pengumpul Zaman Batu di Kalimantan, yang kita kenal dari tulang dan lukisan gua. Untuk menentukan apakah Punan Batu merupakan keturunan penghuni gua tersebut , atau mungkin pernah hidup berdampingan dengan mereka, memerlukan analisis genetik.

Dr Kusuma telah mengambil darah dari 12 orang, dengan persetujuan dewan etik institusinya. Karena sebagian besar masyarakat Punan Batu tidak bisa membaca atau menulis, ia menjelaskan kepada mereka bagaimana darah mereka akan dianalisis, dan meminta persetujuan mereka.

Ia kini telah menganalisis sampel DNA tersebut, bersama dengan sampel suku Punan dan Dayak lainnya di Kalimantan serta sampel masyarakat adat dari Sumatera dan Papua Barat. Punan Batu, menurut studi tersebut, memiliki kekerabatan paling dekat dengan Punan Tubu dan Punan Aput yang ditemukan di sungai lain.

Searah jarum jam dari kiri atas: Basai, dengan kain kulit kayu dan sumpitnya, di pintu masuk Gua Benau; Seher bersama istrinya, Dini, dan putra mereka Ronaldo; Bodon, dengan perangkat GPS dari tim Dr. Lansing; Asut, salah satu dari sedikit Punan Batu yang sesekali memakai kain kulit kayu, bersama putrinya, Marni, dan cucunya Pera.

Dengan membandingkan gen suku Punan dengan sisa-sisa purba seorang perempuan pemburu-pengumpul dari sebuah pulau di Selat Taiwan, Dr. Kusuma menyimpulkan bahwa suku Punan memisahkan diri dari populasi daratan lebih dari 7.000 tahun yang lalu. Temuan ini mengesampingkan kemungkinan bahwa mereka adalah petani Dayak yang baru saja kembali ke gaya hidup berburu dan meramu.

Penelitian tersebut telah diterima untuk dipublikasikan di jurnal Cell Reports, kata Dr Kusuma.

Hoh Boon-Peng, ahli genetika di Universitas Kedokteran Internasional di Kuala Lumpur, Malaysia, mengatakan bahwa hasil ini sejalan dengan pandangan yang berkembang bahwa pemukiman di Asia Tenggara dicapai melalui berbagai gelombang migrasi . Namun, ia mencatat bahwa diperlukan lebih banyak DNA fosil untuk mengetahui secara tepat pemisahan antara nenek moyang suku Punan dan Dayak.

Dr. Sellato dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis telah lama menyatakan bahwa suku Punan bukanlah “petani yang menjadi semak belukar,” seperti yang ia katakan, namun ia tetap skeptis terhadap pentingnya Punan Batu dalam perdebatan yang telah berlangsung selama satu abad tersebut. Ia mengakui bahwa ia tidak memiliki keahlian untuk mengevaluasi data genetik baru tersebut, namun ia berargumentasi bahwa “orang Punan yang berakal sehat dan menghargai diri sendiri akan segera menghilang ke pedalaman” dibandingkan menjadi “budak”.

Masa depan yang tak pasti

Ma'ruf berdiri setinggi pergelangan kaki di sungai di dalam hutan, bekerja dengan jaring ikan di bawah sorotan cahaya.

Ma’ruf dengan jaring ikan di Sungai Rasa. Ada rumor yang mengatakan bahwa sungai tersebut secara bertahap telah ditangkap secara berlebihan oleh penduduk Antutan, sebuah desa dengan perkebunan kelapa sawit yang berkembang pesat.

Sejak awal, Dr. Lansing berharap dapat mengikuti model yang telah berhasil di Bali, dimana penelitian ilmiah menjadi pilar yang mendukung pelestarian budaya.

Kalimantan telah kehilangan lebih dari sepertiga hutannya sejak tahun 1980. Meskipun Kabupaten Bulugnan baru-baru ini mengakui masyarakat Punan Batu sebagai pengguna hutan tradisional, lahan mereka belum menerima perlindungan formal. Ada tiga perusahaan yang mempunyai hak untuk menebang pohon di sana, namun belum ada satupun yang mengambil tindakan atas hak tersebut.

Yang lebih meresahkan bagi Dr. Lansing adalah perkebunan kelapa sawit yang terus berkembang, salah satunya telah dimasuki dari utara, menurut peta satelit.

Dilihat dari sabuk GPS yang ditinggalkan para peneliti bersama suku Punan, kelompok keluarga biasanya menghabiskan delapan atau sembilan hari di salah satu kamp mereka sebelum berpindah beberapa mil ke kamp berikutnya. Wilayah tradisional mereka berukuran sekitar tiga kali luas Manhattan.

Gambar

Dr Lansing menulis di buku catatan di tempat perlindungan kayu kecil, duduk bersama empat pria Punan berkumpul di dekatnya.
Dr Lansing, kanan, melakukan wawancara di gua Ti Pangarat.
Edi, yang bertelanjang dada namun mengenakan tas pinggang, peci hitam, dan celana pendek jean biru, memegang kulit kayu di tangan kirinya dan duduk di atas panggung kayu di rumah penampungan batu miliknya. Seorang wanita menggendong bayi berdiri di sebelah kirinya.
Edi, kiri, di rumahnya di hutan.

The Nature Conservancy dan Leakey Foundation berupaya agar lanskap terjal tersebut dinyatakan sebagai taman, untuk mencegah penambangan pegunungan batu kapur untuk dijadikan semen. Bahan ini dibutuhkan saat Indonesia membangun ibu kota barunya, Nusantara, 250 mil ke arah selatan.

Tidak jelas sampai kapan gaya hidup Punan Batu ini akan bertahan. Suatu pagi, Edi, pria berbadan tegap dan berotot berusia 20-an yang sudah mahir menggunakan gergaji mesin, mengajak kami berkeliling ke rumah satu kamarnya di tengah hutan. Letaknya di atas panggung, dengan serbuk gergaji segar masih berserakan di lantai. Vegetasi di sekitarnya baru saja dibakar, untuk persiapan penanaman ubi jalar dan tebu.

Lansing dan Dr. Kusuma keduanya mengungkapkan keterkejutannya atas perkembangan ini, yang terjadi lebih tiba-tiba dari yang mereka bayangkan. Mereka mengetahui Punan yang telah meninggalkan hutan menuju kota, namun satu-satunya rumah lain di hulu sungai ini dibangun oleh Abdul Karim, sebagai tempat berlindung sementara untuk memfasilitasi perdagangan.

Meskipun bingkai rumah dan lahan pertanian Edi menandai perubahan dari gua dan tempat bersandar bambu tempat ia tidur, ia hampir tidak menyadari pentingnya hal tersebut. “Itu bagus,” dia mengangkat bahu.

Dikatakan bahwa kehidupan yang dijalani dengan berjalan kaki dapat membuat orang Punan menjadi tidak sopan dalam melakukan ritual peralihan. Edi mengatakan ia akan terus berburu dan mengumpulkan madu, namun ia perlu memikirkan anak-anaknya dan masa depan mereka. Rumah permanen adalah sebuah permulaan.

Mengenal Sejarah Kisah Benda-Benda Bersejarah Indonesia Dibawa Ke Negeri Luar

Alfred Russel Wallace, seorang naturalis Inggris, sempat mampir ke Mojokerto dalam ekspedisinya di Kepulauan Nusantara. Di sana ia menginap di rumah Mr. Ball, lelaki Inggris yang telah lama tinggal di Jawa.

Oleh kenalan barunya itu, Wallace diantarkan ke Desa Mojoagung. Dalam perjalanan mereka berhenti untuk mengamati puing-puing kota kuno Majapahit. Sampai di rumah seorang wedana atau kepala distrik Mojoagung, ia melihat sebuah relief dewi yang terpajang. Relief pada batu andesit itu tingginya tak sampai perut orang dewasa. Tadinya Situs Toto, panil batu itu terkubur di suatu tempat dekat Mojoagung.

Wallace mengaguminya. Ketertarikannya itu sampai terlihat di ekspresi wajahnya. Ball pun memintakan relief itu untuknya. “Senang sekali ternyata wedana itu langsung memberikan,” kata Wallace.

Sosok perempuan dalam relief itu adalah Durga Mahisasuramardini. NANA4D Ia memiliki delapan tangan dan berdiri di atas punggung seekor mahisa (kerbau). Salah satu tangan kanannya menarik ekor mahisa. Sementara tangan kirinya menjambak rambut asura (raksasa) yang keluar dari kepala mahisa. Tangan lainnya memegang bermacam-macam senjata.

“Dewi ini sangat dipuja oleh orang-orang Jawa masa lampau sehingga patungnya sering ditemukan di puing candi-candi yang terdapat di bagian timur Pulau Jawa,” lanjut Wallace.

Keesokannya, relief yang didapat Wallace secara cuma-cuma itu dikirim ke Mojokerto. “Akan saya bawa nanti kembali ke Surabaya,” ujar Wallace.

Kisah Wallace mendapatkan cenderamata berupa temuan arkeologis itu dicatat dalam karyanya, The Malay Archipelago yang terbit pada 1869. Perilakunya tak begitu mengejutkan. Kala itu, artefak dari Nusantara memang biasa dijadikan cenderamata, hadiah, bahkan hiasan taman di kediaman para pejabat kolonial. Maka tak mengherankan kalau di antaranya kini terpajang cantik di museum-museum di negeri orang.

Dibanding Wallace, masih ada yang lebih parah. Ia adalah Frederik Coyett, orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733. Ia tertarik pada relief dan arca Buddha di candi itu. Ia pun membawa beberapa arca ke Batavia.

Menurut Jean Gelman Taylor, sejarawan dari University of New South Wales, Australia dalam “Visual History a Neglected Resource for the Longue Durée”, termuat di Environment, Trade and Society in Southeast Asia a Longue Durée Perspective, oleh-oleh arca itu oleh Coyett kemudian ditempatkan di taman villa yang ia bangun sesaat sebelum kematiannya pada 1736. “Kemudian tanah miliknya pindah kepemilikan kepada komunitas Tionghoa Batavia yang juga tertarik pada arca Buddha, mengubah tempat tinggal Coyett menjadi Kuil Cina dan tanah pemakaman yang dikenal sebagai Klenteng Sentiong,” jelas Taylor.

Ada lagi Nicolaus Englehard, gubernur pantai timur laut Jawa pada 1801-1808. Setelah sempat melakukan perjalanan ke tiga situs kuno di Yogyakarta: Candi Prambanan, Kota Gede, dan Pesanggrahan Gembirowati, tiba-tiba minat Englehard terhadap tinggalan purbakala tersulut. Begitulah kata sejarawan asal Belanda, Marieke Blombergen dan Martijn Eickhoff dalam “A Wind of Change on Java’s Ruined Temples: Archaeological Activities, Imperial Circuits and Heritage Awareness in Java and the Netherlands (1800-1850)” termuat di BMGN – Low Countries Historical Review (2013).

Englehard pun mengisi tahun-tahun berikutnya dengan berbagai “kegiatan arkeologis” lainnya. Contohnya pada 1804, ia mulai mengumpulkan arca-arca kuno di Jawa untuk dipajang di kediamannya, “De Vrijheid”, di Semarang.

Di antara arca-arca itu ada yang berasal dari Candi Singasari di Malang. Kebetulan, Englehard baru menemukan kembali candi dari abad ke-13 itu setahun sebelumnya. Menurut Ann R. Kinney dalam Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java dari candi yang diyakini sebagai pendharmaan Raja Kertanegara itu, ada enam arca utama yang dibawa Englehard.

“(Arca-arca itu, red.) akhirnya membentuk inti dari koleksi seni Indonesia di Rijksmuseum voor Volkenkunde di Leiden,” jelasnya. “Selama abad ke-19, arca-arca lainnya terus dipindahkan ke Holland atau Batavia, atau diberikan kepada pejabat tinggi yang berkunjung.”

Nasib artefak sebagai buah tangan berlanjut pada masa kedudukan Inggris di Jawa. Bahkan menurut Peter Carey, sejarawan asal Inggris, mereka adalah pencuri aset Indonesia nomor wahid. Setidaknya ada dua benda cagar budaya penting asal Indonesia yang kini nasibnya masih di negeri orang karena dibawa oleh Sir Stamford Raffles.

Prasasti Sanguran atau dikenal dengan Minto Stone sudah lebih dari 200 tahun berdiri di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto dalam keadaan tertutup lumut dan lapuk. Padahal prasasti dari 982 M ini memuat catatan pemberian status sima oleh raja Medang di Jawa Tengah, Dyah Wawa kepada Desa Sanguran, yang mungkin letaknya di sekitar Malang sekarang.

Dari tempat ditemukannya di Malang, Prasasti Sanguran dikirim ke Kolkata pada April 1813. Menurut sejarawan asal Inggris, Hadi Sidomulyo (Nigel Bullogh) dan Peter Carey dalam “The Kolkata (Calcutta) Stone” termuat di Jurnal The Newsletter (2016) terbitan International Institute for Asian Studies, prasasti ini dimaksudkan sebagai hadiah dari Raffles kepada pelindungnya, Gubernur Jenderal India, Lord Minto. Minto yang mengakhiri masa jabatannya pada Desember tahun itu, membawanya pulang ke Skotlandia. Prasasti itu kemudian diletakkan di tanah leluhurnya di Roxburghshire.

“Paling tidak, itu menunjukkan Minto menghargai barang itu dan bersusah payah memilikinya, diangkut ke tanah miliknya di Skotlandia, meskipun beratnya lebih dari tiga ton,” kata Hadi.

Beda nasibnya dengan Prasasti Pucangan atau yang dikenal dengan Calcutta Stone. Kini, kata Hadi, ia tersimpan tak terawatt di Museum India. Padahal Prasasti Pucangan yang berasal dari 1041 M itu unik karena satu-satunya yang menyimpan catatan kronologis tentang pencapaian Airlangga, penguasa di Kahuripan, disertai silsilahnya sebagai pewaris keluarga raja yang sah.

“Kolkata Stone, di sisi lain, disimpan di Museum India di mana sekarang hampir dilupakan, mengalami degradasi karena keingintahuan kecil, terperangkap di gudang museum asing seolah-olah akibat kecelakaan historis,” catat Hadi.

Menurut Hadi, tak jelas bagaimana dan kapan Prasasti Pucangan menemukan jalannya ke Kolkata. “Yang kita tahu, bahwa itu adalah salah satu dari dua prasasti batu Jawa yang penting, yang dikirim ke India selama periode pemerintahan Raffles,” jelasnya lagi.

Kemungkinan, Mackenzie menemukannya ketika bertamasya ke wilayah Mojokerto sekarang pada Maret 1812. Lalu ia membawanya ke Surabaya melalui sungai Kali Mas.

“Rincian pengirimannya ke Kolkata belum diketahui, tetapi prasasti itu cukup masuk akal berada di antara barang-barang yang menemani Mackenzie sekembalinya ke India pada Juli 1813,” kata Hadi.

Jadi Koleksi Museum Luar Negeri

Belum lagi cerita Raja Chulalongkorn dari Siam (Thailand) yang membawa pulang sembilan gerobak penuh arca dan karya seni Jawa Kuno, sebagai ganti patung gajah yang sekarang terpajang di halaman depan Museum Nasional, Jakarta.

Pada 1896, baginda berkunjung ke Jawa. Ia meminta izin kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membawa pulang arca-arca itu.

Dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, John Miksic, arkeolog University of Singapore, mengungkapkan oleh-oleh yang diminta sang raja itu termasuk 30 relief, lima arca Buddha dan dua arca singa dari Candi Borobudur, beberapa langgam Kala yang biasanya ada di bagian atas pintu masuk candi, serta arca Dwarapala yang merupakan temuan dari Bukit Dagi, yaitu bukit yang berada sekira beberapa ratus meter di barat laut Candi Borobudur.

Namun setidaknya, benda-benda ini masih bernasib baik. Sofwan Noerwidi, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Ganesa Pemimpin Para Gana: Dua Arca Ganesa Singasari Koleksi Museum di Negeri Orang”, termuat dalam Arca: Sepilihan Teks dan Foto tentang Seni Arca Klasik mengatakan satu paket arca Buddha dari Borobudur itu kini diletakkan di kuil Wat Phra Kaeo, di dalam kompleks istana. Sementara di Museum Nasional Bangkok tersimpan pula koleksi arca dan relief dari Prambanan, Plaosan, dan Jawa Timur.

“Di museum inilah kita temukan kembaran arca Ganesha Singasari di Leiden yang ditempatkan di tengah-tengah Java Room, dan dilengkapi dengan altar yang nampaknya digunakan oleh sebagian pengunjung,” jelasnya.

Museum di Leiden, atau namanya Rijksmuseum Volkenkunde sudah lama diketahui menyimpan banyak harta karun Singhasari. Di sana terpajang cantik arca Brahma, Nandi, Durga, Ganesha, Bhairawa, Mahakala, dan Nandiswara dari Singhasari.

“Karena itu, jika kita ke Candi Singasari, kita hanya akan menemukan arca Agastya di bilik selatan, fragmen arca Dewa Candra dan Surya, serta arca Dewi Parwati yang belum selesai di pelataran candinya,” kata Sofwan.

Yang mungkin bernasib lebih menggembirakan lagi adalah di antara mereka yang kemudian berhasil kembali ke tanah air. Misalnya, keropak Negarakrtagama yang hanya ada satu-satunya di dunia. Lontar ini, kata arkeolog Nunus Supardi, dalam “Ken Dedes Pulang Kampung” termuat di Jurnal Prajnaparamita (2016), dirampas dari Puri Cakraningrat, Lombok, ketika Belanda menyerbu puri itu. Pada 1972, keropak Negarakrtagama resmi diizinkan pulang kampung. Sekarang ia disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Ada juga arca Prajnaparamita. Konon, arca yang dikenal sebagai arca Ken Dedes ini berasal dari Candi Cungkup Putri yang lokasinya tak jauh dari Candi Singasari. Sebelum akhirnya kembali ke tanah air, dan menjadi koleksi masterpiece di Museum Nasional, Jakarta, arca Ken Dedes juga pernah menjadi penghuni Rijksmuseum Volkenkunde.

Nunus menjelaskan Ken Dedes ditemukan pada 1819 oleh D. Monnereau, seorang pegawai Belanda di dekat Singhasari. Arca itu kemudian diserahkan kepada C.G.C. Reinwardt pada 1820, lalu dibawanya ke Belanda.

“105 tahun kemudian, pada 1975 Ken Dede bisa dibawa pulang kembali ke tanah air,” kata Nunus.

Pada awal tahun 2020, sebanyak 1.500 benda bersejarah yang sebelumnya ada di Museum Nusantara di Kota Delft, Belanda, dipulangkan ke Indonesia melalui proses repatriasi. Dulunya koleksi itu merupakan barang-barang dari Indonesia yang dibawa ke Belanda pada masa kolonial.