Gerakan Aceh Merdeka: Latar Belakang, Perkembangan, dan Penyelesaian

Seratusan mantan kombantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh menggelar upacara pengibaran bendera bulan bintang dalam rangka memperingati hari milad ke 40 di kawasan pegunungan Aceh Jaya, Minggu (04/12/16).
Seratusan mantan kombantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh menggelar upacara pengibaran bendera bulan bintang dalam rangka memperingati hari milad ke 40 di kawasan pegunungan Aceh Jaya, Minggu (04/12/16).(Kompas.com)

HISTORY – Gerakan Aceh Merdeka atau GAM adalah gerakan separatisme bersenjata yng bertujuan agar Aceh terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

GAM dibentuk pada 4 Desember 1976 dan dipimpin oleh Hasan di Tirto.

Akibat adanya perbedaan keinginan antara pemerintah RI dan GAM, konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini telah menjatuhkan hampir 15.000 jiwa.

Organisasi tersebut membubarkan gerakan separatisnya setelah terjadi Perjanjian Damai 2005 dengan pemerintah Indonesia.

 GAM kemudian berganti nama menjadi Komite Peralihan Aceh.

Penyebab

Konflik yang terjadi di Aceh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perbedaan pendapat tentang hukum Islam, ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh, dan peningkatan jumlah orang Jawa di Aceh.

Dalam konflik tersebut, GAM melalui tiga tahapan, yaitu tahun 1977, 1989, dan 1998.

Sebelumnya, pada 4 Desember 1976, pemimpin GAM, Hasan di Tiro bersama beberapa pengikutnya melayangkan perlawanan terhadap pemerintah RI.

Perlawanan tersebut mereka lakukan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.

Sejak saat itu, konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung

Perkembangan

1977

GAM pertama kali mengibarkan bendera perang dengan melakukan gerilya.

Namun, pemerintah pusat berhasil menetralisir kelompok tersebut. GAM mengalami kegagalan dalam perang gerilya.

1989

Pada 1989, GAM memperbarui aktivitasnya. GAM didukung oleh Libya dan Iran dengan mengerahkan sekitar 1.000 tentara.

Pelatihan yang diberi dari luar negeri ini berarti bahwa tentara GAM sudah jauh lebih tertata dan terlatih dengan baik.

Melalui ancaman terbaru ini, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer Khusus (DOM).

Desa-desa yang diduga menampung para anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka diculik dan disiksa.

Diyakini terdapat 7.000 pelanggaran hak asasi manusia terjadi selama DOM berlangsung.

1998

Tahun 1998, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Presiden Jusuf Habibie.

Semasa kepemimpinannya, Habibie menarik pasukan dari Aceh untuk memberi ruang bagi GAM dalam membangun kembali organisasinya.

Namun, pada 1999, kekerasan justru semakin meningkat.

GAM memberontak terhadap pejabat pemerintah dan penduduk Jawa yang didukung oleh penyelundupan senjata besar-besaran dari Thailand oleh GAM.

Kemudian, memasuki tahun 2002, kekuatan militer dan polisi di Aceh juga berkembang menjadi kurang lebih sebanyak 30.000.

Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 50.000.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM mengakibatkan beberapa ribu kematian warga sipil.

Untuk mengatasi GAM, pemerintah melancarkan serangan besar-besaran tahun 2003 di Aceh, di mana keberhasilan semakin terlihat.

Penyelesaian

Pada 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami besar menimpa Aceh.

Kejadian ini memaksa para pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.

Selanjutnya, tanggal 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia.

Pada 17 Juli 2005, setelah berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantta, Finlandia.

Penandatanganan kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.

Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN.

Semua senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005.

Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan secara formal.

Kisah Khmer Merah Duduki Phnom Penh Akhiri Perang Kamboja 1975, Bagaimana Muasal Gerakan Itu?

Pemimpin militer mereka, Pol Pot, menjadi Perdana Menteri untuk pemerintahan baru Kamboja. Kekuasaan Khmer Merah selama empat tahun berikutnya ditandai oleh beberapa catatan terburuk dari pemerintahan Marxis mana pun di abad ke-20, ketika sekitar 1,5 juta dan mungkin hingga 2 juta orang Kamboja tewas dan banyak profesional dan teknis negara itu meninggal dan dimusnahkan.

Namun masa kekuasaan Khmer Merah di Kamboja tidak berlangsung lama. Pemerintah Khmer Merah digulingkan pada 1979 dengan menyerang pasukan Vietnam, yang memasang pemerintahan boneka yang didukung oleh bantuan dan keahlian Vietnam.

Perang Kamboja-Vietnam yang kemudian membawa Khmer Merah menguasai Kamboja

Khmer Merah mundur ke daerah terpencil dan melanjutkan perang gerilya, kali ini beroperasi dari pangkalan di dekat perbatasan dengan Thailand dan mendapatkan bantuan dari Tiongkok.

Pada 1982, mereka membentuk koalisi yang rapuh (di bawah kepemimpinan nominal Sihanouk) dengan dua kelompok Khmer non-komunis yang menentang pemerintah pusat yang didukung Vietnam.

Khmer Merah adalah mitra terkuat dalam koalisi ini, yang melakukan perang gerilya hingga era 1991. Khmer Merah menentang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mensponsori penyelesaian perdamaian pada 1991 dan pemilihan multipartai pada 1993, dan mereka melanjutkan perang gerilya melawan pemerintah koalisi non-komunis yang dibentuk setelah pemilihan tersebut.

Terisolasi di provinsi barat terpencil negara itu dan semakin bergantung pada penyelundupan permata untuk pendanaan mereka, Khmer Merah mengalami serangkaian kekalahan militer dan semakin lemah dari tahun ke tahun.

5 Januari 1976: Pemimpin Khmer Merah Pol Pot Ubah Nama Kamboja ...

Kemudian pada 1995, banyak kader mereka menerima tawaran amnesti dari pemerintah Kamboja, dan di tahun 1996 salah satu tokoh mereka, Ieng Sary, membelot bersama beberapa ribu gerilyawan di bawah komandonya dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah.

Kekacauan dalam organisasi meningkat pada tahun 1997, ketika Pol Pot ditangkap oleh pemimpin Khmer Merah lainnya dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Puncaknya, Pol Pot meninggal pada 15 April 1998 akibat serangan jantung, dan segera setelah itu para pemimpin Khmer Merah yang masih hidup membelot atau dipenjarakan.

Perang Paregreg: Penyebab, Kronologi, dan Dampak

Candi Jabung peninggalan majapahit yang berdiri di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo.

HISTORY – Perang Paregreg (1404-1406) adalah perang saudara antara Bhre Wirabumi dari Kerajaan Blambangan dengan Prabu Wikramawardhana dari Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit diketahui pernah beberapa kali menghadapi perang saudara, namun yang cukup berdampak besar adalah Perang Paregreg.

Meski hanya berlangsung selama dua tahun, Perang Paregreg diyakini menjadi salah satu penyebab melemahnya Kerajaan Majapahit.

Setelah itu, Kerajaan Majapahit menghadapi masalah perebutan tahta pemerintahan di antara para penguasa daerah yang sebagian besar merupakan kerabat raja.

Penyebab Perang Paregreg

Dilansir dari laman bobo.grid.id dan Kompas.com, Perang Paregreg disebabkan oleh adanya pertikaian antara istana barat dan istana timur.

Dalam kitab Pararaton, hal ini berawal dari munculnya keraton baru di Pemotang pada tahun 1376, yang terletak di timur Kerajaan Majapahit.

Keraton tersebut dipimpin oleh Bhre Wenker atau Wijayarajasa yang merupakan suami dari Rajadewi, bibi dari Raja Hayam Wuruk.

Rajadewi membuat Wijayarajasa berambisi untuk menjadi raja Majapahit menggantikan Hayam Wuruk.

Sementara Hayam Wuruk memiliki dan selirnya memiliki putra yang bernama Bhre Wirabhumi.

Menurut Kitab Negarakertagama, Bhre Wirabhumi kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani, cucu dari Rajadewi.

Setelah Wijayarajasa wafat, Bhre Wirabhumi diangkat menjadi raja di istana timur.

Sedangkan wilayah istana barat diberikan kepada menantu Hayam Wuruk yaitu Wikramawardhana untuk dipimpinnya.

Dua istana tersebut mulai bergejolak saat Bhre Wirabhumi mengangkat istrinya Nagarawardhani menjadi Bhre (Adipati) Lasem.

Mengetahui hal itu, Wikramawardhana juga ikut mengangkat istrinya, Kusumawardhani, menjadi Bhre Lasem.

Namun ketika Nagarawardhani dan Kusumawardhani meninggal pada tahun 1400, Wikramawardhana segera mengangkat menantunya, yaitu istri Bhre Tumapel sebagai Bhre Lasem.

Sejak saat itu, pertengkaran antara istana timur dan barat menjadi semakin sengit, hingga meletuslah Perang Paregreg pada tahun 1404.

Kronologi Perang Paregreg

Sesuai nama Paregreg yang berasal dari istilah dalam bahasa Jawa Kuno, peperangan ini terjadi dalam beberapa tahap dengan tempo yang lambat.

Hal ini menjelaskan jalannya Perang Paregreg yang berlangsung antara tahun 1404 hingga 1406.

Perang saudara ini berjalan secara bertahap dengan kemenangan yang terjadi silih berganti.

Selama dua tersebut, kemenangan kadang didapat oleh istana barat dan kemudian berganti dimenangkan istana timur.

Hingga di tahun 1906, akhirnya Perang Paregreg dimenangkan oleh istana barat yang dipimpin oleh Bhre Tumapel, putra dari Wikramawardhana yang dapat menguasai istana timur.

Dalam Perang Paregreg, Bhre Wirabhumi yang memimpin istana timur tewas.

Walau peperangan sudah usai, ternyata pertikaian antara dua istana itu masih menyebabkan dampak luar biasa pada Kerajaan Majapahit.

Dampak Perang Paregreg

Dampak Perang Paregreg disebut menjadi pemicu kemunduran bagi Kerajaan Majapahit, yaitu:

1. Banyak daerah kekuasaan melepaskan diri

Walau setelah peperangan istana timur bergabung dengan Kerajaan Majapahit di Mojokerto, ada banyak daerah kekuasaan yang mencoba melepaskan diri.

Bahkan wilayah kekuasaan Majapahit di luar Pulau Jawa dengan cepat melepaskan diri dan membuat banyak daerah lain melakukan hal yang sama.

Hal ini membuat wilayah kekuasaan Majapahit menjadi semakin sempit.

2. Memakan banyak korban

Walau perang saudara in hanya terjadi selama dua tahun, namun ternyata dampaknya memakan banyak korban.

Korban yang jatuh dalam Perang Paregreg bukan hanya berasal dari pasukan perang tapi juga orang asing dari Tiongkok.

3. Kondisi ekonomi menurun

Jatuhnya korban orang asing dari Tiongkok membuat Wikramawardhana harus membayar ganti rugi dalam jumlah besar.

Padahal kondisi ekonomi Majapahit sudah menurun akibat peperangan.

4. Wikramawardhana gagal membangkitkan kejayaan Majapahit

Kondisi semakin buruk setelah Wikramawardhana dan para penerusnya tidak bisa membangkitkan kejayaan Majapahit.

Hal ini yang menjadikan Perang Paregreg menjadi faktor utama dari runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Daftar 9 Istri Bung Karno: dari Kawin Gantung, Janda hingga Siswi SMA 

HISTORY kisah istri Bung Karno terulis dalam buku. Antara lain, Inggit, Kuantar Ke Gerbang; Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno; Haryatie, Soekarno The Hidden Story; Hartini, Biografi Hartini Soekarno; Ratna Sari Dewi, Sakura di Tengah Prahara; Yurike Sanger, Kisah Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA; Heldy Djafar, Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno.

Selain itu kisah istri Bung Karno juga ditulis dalam buku Bunga-Bunga di Taman Hati Soekarno, Kisah Cinta Bung Karno Dengan 9 Istrinya yang ditulis penulis Haris Priyatna. Ada pula Total Bung Karno karya Roso Daras.

Presiden Sukarno atau Bung Karno tercatat mempunyai 9 istri. Sembilan istri Soekarno tersebut antara lain adalah, Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo dan Heldy Djafar.

Dari kesembilan istri Bung Karno, enam di antaranya berakhir dengan perceraian; Siti Oetari, Inggit Garnasih, Kartini Manoppo, Haryati, Yurike Sanger dan Heldy Djafar.

Saat sekolah di Surabaya, Sukarno kos di rumah HOS .Cokroaminoto. Siti Oetari, adakah putri sulung HOS Tjokroaminoto. Sukarno menikahi Oetari pada 1921 pada usia 21 tahun. Sedang Oetaru berumur 16 tahun. Oetari belum lama ditinggal mati ibunya.

Ternyata Soekarno tidak mencintai Oetari. Oetari juga tidak mencintainya. Mereka tak saling mencintai. Pernikahan mereka hanya seumur Jagung. Soekarno akhirnya menceraikan Oetari tak lama setelah kuliah di Bandung.

“Bila aku perlu menikahi Oetari guna meringankan beban orang yang kupuja itu (Tjokroaminoto), itu akan kulakukan,” cetus Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.

Roso Daras, penulis buku Total Bung Karno mengatakan, “Istilahnya mereka menikah kawin gantung.”

Inggit Ganarsih adalah istri kedua Bung Karno. Sukarno dan Inggit bertemu di kota Bandung. Sukarno pindah ke Bandung untuk berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB) tahun 1921.
Inggit Ganarsih adalah istri kedua Bung Karno. Sukarno dan Inggit bertemu di kota Bandung. Sukarno pindah ke Bandung untuk berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB) tahun 1921.

Inggit usianya juga lebih tua 13 tahun, berstatus istri orang (H Sanusi, politisi Sarekat Islam). Di rumah kos di Bandung milik Inggit cinta bersemi. Mereka memutuskan menikah pada 24 Maret 1923.

Sukarno menceraikan Oetari dan Inggit menceraikan H Sanusi.

Mereka mengarungi bahtera rumah tangga selama hampir 20 tahun, akhirnya berpisah pada tahun 1943 karena Inggit tidak mau di madu sebab tidak punya anak. Mereka bercerai dengan perjanjian perceraian, Sukarno membelikan rumah di Bandung dan memberi nafkah seumur hidup.

“(Tapi) Inggit tidak pernah sekalipun menanyakan, apalagi menuntut suatu hal yang dijanjikan Sukarno dalam surat perjanjian cerai, yang juga disaksikan dan ditandatangani oleh Moh Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan KH Mas Mansoer pada 1942,” tulis Ramadhan KH dalam Soekarno: Ku Antar ke Gerbang.

Setelah bercerai dari Inggit pada 1943, Bung Karno kenal dengan Fatmawati yang juga anak angkatnya saat di Bengkulu . Fatma lalu dinikahinya. Fatma merupakan gadis muda yang usianya lebih muda 22 tahun dari Bung Karno. Bung karno sudah berumur 42 tahun.

Fatmawati merupakan Istri soekarno yang paling terkenal, karena berjasa dengan menjahit bendera sang saka merah putih untuk pelaksanaan Proklamasi.

Soekarno dari Fatmawati memiliki keturunan, lima anak. Mereka adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra.

Istri keempat Hartini. Mereka bertemu ketika di Candi Prambanan. Mereka menikah pada tahun 1953. Hartini saat itu berumur 29 tahun dan berstatus janda dengan lima anak.

Dari Soekarno, Hartini dapat dua anak, yaitu Taufan Soekarnoputra dan Bayu Soekarnoputra. Hartini, wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah.

“Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya.” Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, “Benar, sudah lima anak dan masih tetap secantik ini?”

Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, “Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut.”

Saat itu, Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima anak.

Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Karena Bung Karno tidak bisa hadir, bertindak sebagai wakil nikah komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.
Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Karena Bung Karno tidak bisa hadir, bertindak sebagai wakil nikah komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.

“Hartini salah satu istri Soekarno yang tetap setia hingga ajal Bung Karno tiba. Di pangkuan Hartini , Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto,”ungkap Roso.

Bung Karno lalu menikah dengan Haryati di Jakarta . Haryati adalah penari yang juga merupakan staf Sekretariat Negara Bidang Kesenian itu. Sukarno lantas menikahinya gadis berusia 23 tahun itu pada 21 Mei 1963 dengan hajatan sederhana.

Dikatakan Haryati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno; Haryatie, bahwa Bung Karno berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas.

“Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru 23 tahun.”

Sukarno memilih menceraikannya pada 1966. “Perceraianku dengan engkau ialah karena kita rupanya tidak ‘cocok’ satu sama lain,” tulis Sukarno dalam surat perceraiaannya yang dikutip Reni Nuryanti dalam Perempuan dalam Hidup Sukarno.

Istri Bung Karno berikutnya adalah Ratnasari Dewi. Dalam buku My Friend the Dictator , ia mengungkapkan, “Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang”. Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.

Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama , Ratnasari Dewi.

Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. “And I was so alone. I had lost my whole family.”

“Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan,”paparnya.

Kartini Manoppo

Petualangan Bung Karno belum berakhir. Ia jatuh cinta pada seorang model dan mantan pramugari. Namanya Kartini Manoppo asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang jadi salah satu model lukisan karya Basoeki Abdullah . Setelah ditanya siapa modelnya dan alamatnya, Sukarno mendekati Kartini.

“Kartini yang menjadi pramugari pesawat Garuda, lantas dimintanya ikut terbang setiap kali Presiden Sukarno ke luar negeri,” ungkap Peter Kasenda dalam Bung Karno: Panglima Revolusi. Rayuan maut .

Mereka menikah tidak secara resmi, melainkan hanya nikah siri pada 1959.

“Keluarga tidak menyetujui. Pantang bagi keluarga terpandang putri kesayangannya jadi istri kelima meski dia seorang presiden. Itulah kenapa saya tidak menikah secara resmi dengan Bung Karno,” kenang Kartini di buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku dan Kebanggaanku.

Namun perubahan situasi politik pasca-Tragedi 1965, Kartini diminta Sukarno “menyelamatkan” diri ke Eropa. “Kartini diminta ke Eropa demi keselamatan mereka. Bung Karno tidak mau Kartini yang sedang hamil, terjadi sesuatu di Indonesia,” kata Roso.

Di Nurnberg, Jerman pada 17 Agustus 1966, Kartini melahirkan seorang putra yang dinamai Bung Karno, Totok Surjawan. Dua tahun kemudian keduanya memutuskan berpisah.

Lalu kisah cinta Bung Karno dengan siswa SMA, Bung Karno mengenal Yurike semasa sang gadis masih tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika, di sebuah acara kenegaraan pada 1963. Ia jatuh cinta, hingga memutuskan menikah pada 6 Agustus 1964.

Yurike kian kesulitan bertemu suaminya pasca-Tragedi 1965. Terlebih setelah Bung Karno mulai sakit-sakitan. Pada suatu ketika Yurike bisa membesuk suaminya di Wisma Yaso, Bung Karno melayangkan permintaan yang menusuk hatinya. Yurike diminta bercerai demi masa depan Yurike sendiri. Permintaan yang awalnya ditolak sang istri muda.

“Dengan terpaksa kupenuhi permintaannya. Kami bercerai secara baik-baik (pada 1967). Sungguh mengharukan karena kami masih sama-sama mencintai. Kami berpisah saat kami sedang rapat bersatu,” kenang Yurike dalam Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA: Biografi Cinta Presiden Sukarno dengan Yurike Sanger karya Kadjat Adra’i.

Istri terakhir Bung Karno atau yang ke 9 adalah Heldy Djafar. Ia tergabung di Barisan Bhinneka Tunggal Ika, pengibar bendera pusaka. Bung karno meminangnya dan menikahinya pada 11 Juni 1966 di Istana, tepatnya di Wisma Negara.

Rumah tangga mereka hanya bertahan dua tahun. Selain karena sudah dimakzulkan, Bung Karno mulai sakit-sakitan. Untuk bisa bertemu harus di rumah Yurike, di Jalan Cipinang Cempedak, Polonia, Jakarta Timur.

Hingga suatu ketika , itu Heldy meminta izin untuk menjauh dari Sukarno. “Mas, maafkan saya, kalau saya boleh menjauh dari Mas untuk melepaskan diri. Kondisi dan suasana saat ini sangat menyakitkan hati saya. Tidak bisa begini terus. Harus ketemu di rumah orang lain,” lirihnya dalam Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno karya Ully Hermono dan Peter Kasenda.

Kata-kata itu menyiratkan Heldy minta cerai. Namun ditolak Sukarno yang belum ingin berpisah. Seiring waktu, status mereka kian tak jelas. Dibilang istri sulit, cerai pun tidak. Akhirnya Heldy menerima pinangan Gusti Soeriansjah pada 19 Juni 1968. (aky)