History – Sejarah Suku Karo: Kekayaan Budaya dan Tradisi yang Menakjubkan
Medan – Suku Karo adalah suku asli yang menetap di dataran tinggi Karo, termasuk Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, dan Kota Medan. Nama suku ini diambil dari nama wilayah tempat mereka tinggal, yaitu Kabupaten Karo.
Bahasa Karo digunakan sebagai alat komunikasi mereka dan salam tradisional untuk menyapa adalah “Mejuah-juah” yang menggambarkan kehangatan dalam budaya masyarakat Karo. Pakaian adat Suku Karo umumnya memiliki motif warna merah dan hitam, sering kali diperindah dengan perhiasan emas, mencerminkan kekayaan dan keindahan warisan budaya mereka.
Sejarah Suku Karo
Dalam buku Sejarah Pijer Podi, adat Nggeluh Suku Karo Indonesia karya Kol (Purn) Sempa Sitepu menjelaskan sejarah Suku Karo yang diperoleh dari cerita lisan turun-temurun, yang didengarnya dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1883. Menurut Sitepu, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan, dekat perbatasan dengan Myanmar.
Diceritakan bahwa awalnya seorang maharaja yang kaya, sakti, dan berwibawa tinggal di sebuah negeri yang jauh di seberang lautan bersama keluarganya. Maharaja ini memiliki seorang panglima perang yang sangat sakti dan dihormati bernama Karo yang berasal dari India.
Pada suatu ketika, maharaja memutuskan untuk mencari tempat baru untuk mendirikan kerajaan baru dan mengajak pasukannya, termasuk putrinya Miansari yang sedang jatuh cinta kepada panglima Karo. Mereka pun mulai berlayar dengan rakit buatan mereka sendiri.
Namun, Miansari dan Karo terdampar di sebuah pulau yang tidak dikenal, sementara maharaja dan rombongannya tidak diketahui keberadaannya. Miansari dan Karo kemudian sepakat melarikan diri dan menikah. Mereka melanjutkan perjalanan ke pulau Perca (Sumatra), dan tiba di Belawan.
Dari sana, mereka menelusuri aliran sungai ke pedalaman hingga tiba di Durin Tani, tempat di mana mereka beristirahat di gua Umang sebelum melanjutkan perjalanan. Karena merasa tempat itu belum aman, mereka kembali menjelajahi hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah melewati beberapa tempat seperti Buluhawar dan Bukum, mereka tiba di kaki gunung yang diberi nama Sikeben, dekat Bandarbaru. Beberapa bulan setelah itu, Karo melihat tempat yang lebih indah dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga tiba di kaki Gunung Barus.
Tradisi Batak Karo
Tradisi Batak Karo, seperti yang dijelaskan dalam buku Tujuh Suku di Sumatra Utara yang diterbitkan oleh Jejak Publisher, mencakup berbagai adat istiadat:
1. Perumah Begu
Tradisi ini dilakukan oleh para dukun untuk berkomunikasi dengan roh leluhur yang telah meninggal. Para dukun mengizinkan roh tersebut masuk ke tubuh mereka untuk mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lalu para leluhur.
2. Mengket Rumah
Upacara untuk memasuki rumah baru agar rumahnya terhindar dari malapetaka atau hal buruk dengan cara mengadakan pesta atau ibadah di rumah barunya tersebut.
Tradisi ini diadakan saat memasuki rumah baru agar rumah tersebut terhindar dari malapetaka atau kejadian buruk. Mengket Rumah biasanya dilakukan dengan mengadakan pesta atau ibadah di rumah baru.
3. Cawir Metua
Tradisi ini dilaksanakan untuk menghormati orang yang telah meninggal pada usia tua dan sudah memiliki anak-anak yang semuanya sudah menikah.
4. Ngampeken Tulan-Tulan
Tradisi ini melibatkan pengambilan tulang atau kerangka leluhur dari kuburan yang tidak layak dan memindahkannya ke kuburan yang lebih baik.
5. Mbesur-besuri
Tradisi ini mirip dengan syukuran tujuh bulan bagi wanita hamil. Kata “Mbesur” berarti kenyang, sehingga upacara ini bertujuan untuk memberi makan calon ibu yang sedang hamil 7 bulan hingga kenyang dan mendoakannya agar tetap sehat jiwa dan raga. Keluarga dari pihak pria dan wanita diundang untuk berpartisipasi dalam upacara ini.
Rumah Adat Batak Karo
Pada buku tersebut juga dijelaskan mengenai rumah adat Batak Karo. Rumah adat Karo disebut Siwaluh Jabu, yang berasal dari kata “Siwaluh” berarti ‘delapan’ dan “Jabu” berarti ‘rumah’, sehingga Siwaluh Jabu berarti ‘satu rumah yang dihuni oleh delapan keluarga’. Rumah ini memiliki panjang 17 meter, lebar 12 meter, dan tinggi 12 meter.
Dinding rumah adat Karo tidak berdiri tegak lurus tetapi memiliki kemiringan 120°. Rumah ini dibangun menggunakan berbagai bahan seperti kayu, bambu, dan alang-alang, dan didukung oleh 20 tiang fondasi kayu yang berdiri di atas umpak batu.
Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan atap yang terbuat dari ijuk. Biasanya, posisinya mengikuti aliran sungai di sekitar desa. Rumah adat ini dapat ditemukan di dataran tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
Pakaian Adat Karo
Berikut perbedaan pakaian adat laki-laki dan perempuan pada suku Batak Karo
1. Pakaian Adat Pria
Dikutip dari buku Mengenal Rumah Adat, Pakaian Adat, Tarian Adat, dan Senjata Tradisional yang diterbitkan oleh Penebar Cipta, Pria mengenakan tutup kepala atau sabe-sabe yang terbuat dari kain ulos mangiring. Ulos ragi hotang disampirkan di kedua bahu, dan kain sarung digunakan sebagai bawahan. Saat menikah, pengantin pria memakai baju teluk belanga dengan kain sarung suji sebagai bawahan.
2. Pakaian Adat Wanita
Wanita menyampirkan kain ulos sadum pada tubuh mereka, dengan ulos ragi hotang dililitkan di kedua bahu. Sarung suji turut mempercantik penampilannya. Pada pernikahan, pengantin wanita mengenakan baju kurung dan sarung suji, serta dihiasi dengan mahkota yang disebut bulang. Perhiasan tambahan meliputi gelang dan kalung bersusun (gajah meong).
3. Penutup Kepala Adat Karo
Suku Karo juga memakai penutup kepala baik dalam kehidupan sehari-hari maupun upacara adat. Saat pernikahan, mereka menggunakan “Bulang-bulang dan Tudung”, di mana bulang-bulang digunakan oleh pria dan tudung oleh wanita.
Suku Karo memiliki warisan budaya yang kaya dan unik, tercermin dalam sejarah, tradisi, rumah adat, dan pakaian adat mereka. Sejarah yang diwariskan secara lisan dan berbagai upacara adat seperti Perumah Begu dan Mbesur-besuri menunjukkan kedalaman kepercayaan dan nilai-nilai mereka. Rumah adat Siwaluh Jabu dan pakaian tradisional yang indah, seperti ulos dan bulang, mencerminkan kearifan lokal dan keindahan budaya Karo. Semua elemen ini membentuk identitas Suku Karo yang perlu dilestarikan untuk generasi mendatang.
Post Comment