History Jalur Kereta Api Tertua dan Keindahan Gerbong Batu Bara di Sumbar

6e568744df43cdde0a28f8e47d3844e29f740e78-s2-n1-2f4cc05771a38ffad46ba355bea8ebe8.jpg

Stasiun Pulau Air adalah bagian dari jaringan kereta api pertama di Pulau Sumatra. Jaringan tersebut selesai dibangun pada tahun 1891 oleh Sumatra Staatspoorwegen, jawatan kereta api milik pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra.

Merujuk buku Tempo yang berjudul Kereta Api: Jaringan Kereta Sumatera Barat, Salah Satu Jalur Tertua, pada tahun 1833 Gubernur Jenderal van der Bosch pernah berkunjung ke Sumatra Barat (Sumbar).

Pada kunjungannya ini, dirinya terpesona melihat keindahan alam Lembah Anai dengan Batang (sungai) Anai yang berhasil menerobos Bukit Barisan. Dirinya menjadi orang pertama yang memerintahkan membuat jalan raya mengikuti alur Batang Anai berikut jalan kereta api.

Jalur kereta api yang melewati Lembah Anai selesai dibangun pada 1891. Jalur ini menghubungkan Emma Haven–sekarang Pelabuhan Teluk Bayur–di Padang ke Sawahlunto sepanjang 155,5 kilometer.

Sebagian jalur ini merupakan lintas pegunungan dan memiliki gradien terekstrim pada segmen Padang Panjang–Batu Tabal yaitu 70 permil sehingga lokomotif biasa tidak mampu menanjak pada jalur ini maka itu digunakan rel gigi dan lokomotif khusus untuk jalur ini.

“Rel kereta ini melewati Lembah Anai, Padang Panjang, tepian Danau Singkarak, dan terus ke kota Sawahlunto,” tulis buku Tempo.

Karena tidak adanya insinyur Belanda yang turut andil dalam pembangunan lintas ini, maka didatangkanlah insinyur dari Inggris mengingat Sumbar yang memiliki kontur perbukitan yang terjal.

Kondisi terberat pembangunan pada saat itu adalah lokasi pembuatan jalur kereta api di lembah, lereng bukit, terowongan, serta jembatan. Apalagi jalur kereta harus menembus bukit dengan membuat terowongan sepanjang 800 meter.

Semua pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga buruh paksa dari berbagai daerah yang dinamakan orang rantai. Orang-orang ini merupakan narapidana yang dibawa dari seluruh Hindia Belanda.

Awalnya jalur tersebut digunakan untuk mengangkut hasil pertanian dari pedalaman Minangkabau ke Kota Padang. Tetapi rencana tersebut berubah dengan ditemukannya batu bara di daerah Ombilin.

Sepanjang jalan itu dibangun lima tempat pemberhentian pengangkutan batu bara dari Sawahlunto, yaitu Sawahlunto-Solok (28,3 kilometer), Solok-Batutaba (33,2 kilometer), Batutaba-Padang Panjang (17,5 kilometer), Padang Panjang-Kayu Tanam (15,5 kilometer), dan Kayu Tanam-Teluk Bayur (57 kilometer).

“Bahkan jalur kereta api sudah sampai ke Muara Padang. Totalnya ada 240 Kilometer jalur kereta api di Sumbar,” beber Tempo.

Lintasan bersejarah yang kemudian tutup

Sejarah kereta api di Sumbar memang tidak bisa lepas dengan penemuan cadangan batu bara di Sawahlunto pada abad 19. Waktu itu, kandungan batu bara kurang lebih mencapai 205 juta ton dengan kualitas terbaik.

Willem Hendrik de Greve seorang geolog terkemuka Hindia Belanda yang berperan dalam penemuan ini. Namun Greve tewas hanyut terbawa arus deras batang Kuantan tahun 1872.

Menukil dari Langgam, Selasa (11/1/2022) pemerintah Belanda tercatat telah mengeluarkan biaya hingga 35.034.000 gulden dengan rincian 1.372.000 gulden untuk pembangunan sejumlah fasilitas dan instalasi.

30.238.000 gulden untuk pembangunan jalur kereta api dan pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur atau Emma Haven sejumlah 3.424.000 gulden hingga tahun 1899.

Membangun rel kereta api bukanlah perkara mudah, diperlukan teknologi tinggi, biaya tinggi dan ilmu yang tinggi mengenai lingkungan alam. Namun hal ini tidak menyurutkan tekad pemerintah Belanda untuk mengeluarkan batu bara dari Sawahlunto.

Meskipun harus membuka jalan dalam hutan-hutan perawan, melintasi sungai, lembah, bukit, karena tanpa jalur ini batu bara yang ditemukan di Sawahlunto tidak berarti apa-apa.

Sementara itu jalur yang melintasi Lembah Anai dan Singkarak ternyata memberikan destinasi surgawi bagi para elite kolonial Belanda pada masa itu. Sebagai cara menikmati alam pegunungan dengan air terjun jernih yang bergemuruh, serta melintasi danau Singkarak yang hijau dan berkilau diterpa Matahari.

Ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945), kondisi perkeretapian untuk pengangkutan batu bara tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan Belanda. Pembangunan jalur baru dilakukan untuk mengirim batu bara ke Singapura via Pekanbaru (pantai timur Sumatra).

Awalnya rel ini bertujuan untuk pengangkut batu bara dan tentara dari Pekanbaru ke Muaro di wilayah barat pulau Sumatra. Tetapi kenyataannya rel ini tidak pernah digunakan untuk pengangkutan batu bara.

Dikutip dari Koran Sulindo, setelah kemerdekaan seluruh perusahaan eks Belanda di normalisasi tidak terkecuali Perusahaan kereta api Hindia Belanda yakni SS (StaatsSpoorwegen). Sementara itu jalur ini tetap digunakan untuk mengangkut batu bara.

Jalur ini pernah digunakan untuk kereta penumpang reguler hingga sekitar tahun 1986. Namun setelahnya minat masyarakat menggunakan kereta api menurun. Beberapa stasiun pun mulai tutup dan tak lagi beroperasi termasuk Stasiun Pulau Air.

Apalagi sejak akhir tahun 2000 produksi batubara di Sawahlunto makin berkurang. Secara otomatis aktivitas dan keberadaan kereta api di Sumbar juga terimbas nyata. Kalaupun beroperasi hanya sebagai alat transportasi Semen Padang dari Indarung ke Teluk Bayur Sumbar.

Jalur kenangan yang kembali beroperasi

Stasiun Pulau Air akan segera beroperasi kembali setelah adanya Minangkabau Ekspress salah satu fasilitas Bandara Internasional Minangkabau. Rencana reaktivasi ini sebenarnya sudah diwacanakan sejak tahun 2008.

Dipaparkan oleh Kompas, tetapi akibat gempa bumi di Sumbar pada 2009 yang meluluhlantakkan Kota Padang rencana ini akhirnya berhenti. Pemerintah setempat telah mengalokasikan Rp40 miliar untuk menghidupkan lagi Stasiun Pulau Air beserta jaringan rel baru sepanjang 2,5 km menuju Stasiun Padang.

Pekerjaan reaktivasi Stasiun Pulau Air telah mulai dilakukan pada Juni 2019 oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatra Bagian Barat. Namun upaya menghidupkan kembali jalur kereta Stasiun Pulau Air bukanlah perkara mudah.

Pasalnya karena 44 tahun telah berhenti beroperasi praktis lahan stasiun dikuasai warga karena dianggap sebagai tanah tak bertuan. Setidaknya terdapat 238 bangunan berdiri di atas lintasan kereta mati, antara Stasiun Pulau Air dan Stasiun Padang.

Sebagai upaya reaktivasi, PT Kereta Api Indonesia (KAI) membangun ulang bangunan baru juga mengganti seluruh besi rel dengan model baru serta mendirikan pagar pembatas di sepanjang jalur rel.

Tetapi PT KAI tetap mempertahankan bangunan lama Stasiun Pulau Air dan menambahkan beberapa bangunan baru yang dilengkapi sejumlah fasilitas. Antara lain ruang kepala stasiun, ruang khusus laktasi, musala, toilet, serta peron baru.

Merujuk dari Antaranews, Kepala Balai Teknik Perkeretapian Wilayah Sumatra bagian barat Suranto menyebut ada delapan perlintasan sebidang yang dilewati pada rute Stasiun Pulai Air menuju Stasiun Padang.

Yaitu di Jalan Sawahan, Jalan Dr Wahidin, Jalan Proklamasi, Jalan Akses Warga di Tarandam, Jalan Husni Tamrin, Jalan Belakang Pondok dan Jalan Pulau Air. Diharapkan dengan aktifnya jalur tersebut akan mengurangi kepadatan lalu lintas dan kemacetan di Kota Padang.

“Di samping memberikan pelayan transportasi bagi masyarakat, juga akan mendukung sektor pariwisata di Kota Padang,” ujar dia.

Post Comment