History Cap Tikus, Minuman Keras Asal Minahasa, Sejak Jaman Kolonial
Cap Tikus adalah minuman keras (miras) yang cukup populer asal Minahasa.
Cap Tikus dibuat dari sadapan air nira atau disebut dalam bahasa lokal dengan nama saguer yang kemudian disuling hingga menghasilkan sebuah cairan mengandung alkohol dinamai cap tikus.
Setidaknya ada dua versi berbeda asal muasal nama cap tikus.
Salah satu versi, ketika minuman keras ini mulai populer, ada pedagang etnis cina menyertainya dengan label atau merek.
Sesuai ejaan lama disebut Tjap Tikoes, itu diperkirakan sudah ada sejak 1920-1930-an.
Versi lainnya menyebutkan, nama cap tikus itu dikaitkan dengan alat penyulingan dari bambu mirip jalan tikus.
Denni mengisahkan, cap tikus juga muncul dalam ulasan berita di De Tijd, koran katolik Belanda.
Dalam laporannya edisi 2 Desember tahun 1932 menyebutkan, konsumsi minuman keras impor di Manado dan Minahasa pada umumnya mengalami penurunan akibat resesi ekonomi global tahun 1930-an
Sementara minat terhadap minuman keras lokal produksi orang-orang Minahasa, cap tikus justru mengalami peningkatan.
Sebelum krisis global, macam-macam minuman seperti bir, jenerver, anggur dan cognac diimpor dalam jumlah besar ke Minahasa.
Orang-orang Minahasa rupanya menggemari minuman-minuman ini.
Namun, karena menurunnya impor minuman keras, maka cap tikus meningkat pesat.
Daripada mengimpor minuman keras orang Minahasa lebih memilih minuman rakyat cap tikus, demikian tulis De Tijd.
Wartawan De Tijd melaporkan bagaimana warga di Minahasa mendemonstrasikan kadar alkohol kepada mereka.
Cairan cap tikus ditumpahkan sedikit lalu dibakar.
Cairan tersebut mengeluarkan api.
Jika habis terbakar, maka itu tanda kualitasnya bagus.
De Indische Courant dalam laporannya edisi 7 Juli 1937 menyebutkan, cap tikus dikenal luas sebagai minuman keras Minahasa.
Cap tikus ini diperoleh dari hasil menyuling air nira, adopsi teknologi penyulingan alkohol di Jawa.
Disebutkan sampai tahun 1937, tempat penyulingan cap tikus milik rakyat terdapat di hampir semua kampung di Minahasa.
Januari 1938, Captikus dikaitkan dengan kebakaran yang melanda kompleks Pasar Ikan Manado.
Peristiwa itu diberitakan Het Vaderland, koran berbahasa Belanda pada edisi 5 Februari 1938.
Api menyebar dan membakar banyak bangunan di kompleks itu.
Dari kobaran api terdengar suara bunyi ledakan.
Botol-botol berisi cap tikus meledak dari sebuah toko.
Tahun 1940 di Daerah Koya, Tondano ada catatan pengiriman captikus ke Jakarta.
Pemerintah kolonial juga tercatat melakukan pembatasan peredaran minuman keras ini
Cap tikus dijual seharga 5 hingga 10 sen per liter, itu harga petani dijual ke para pengumpul.
Minuman itu dimasukkan ke botol-botol yang diberi lebel bergambar seekor tikus.
Cap tikus dalam kemasan botol ini lalu dipasarkan di tempat-tempat umum.
Harga jual per botol 25 hingga 50 sen.
Tradisi Eropa
Denni menjelaskan, kebiasan menengak miras oleh orang Minahasa sudah ada sejak abad 19.
Menular dari kebiasaan orang barat di masa kolonial Belanda.
Perdagangan miras semisal whisky dan Brandi di Eropa, ikut tembus ke daerah kolonial.
Belakangan, teknologi penyulingan ikut diperkenalkan, hingga ke pelosok.
Denni mengatakan, menurut sejarawan Minahasa, Jessy Wenas, teknik penyulingan cap tikus ini diperoleh orang Minahasa yang jadi tentara kolonial ketika ditugaskan ke Jawa.
Sejak zaman kolonial, di beberapa daerah sudah muncul beragam nama minuman tradisional.
Di Ambon disebut sopi, kemudian disebut arak di daerah jawa.
Saguer sebutan orang Minahasa
Saguer fermentasi ini kemudian disuling
“Kalau perkirakan akhir abad 19 orang minahasa membuat cuka saguer kemudian dimasak jadi captikus,” kata dia Denni.
Tradisi orang Eropa, menyuguhkan minuman keras seperti brendi atau whisky saat menyambut tamu.
Captikus di masa itu masih barang langka, produksinya masih terbatas, itu sekitar tahun 1900-an
Akibat terjadi resesi ekonomi global sekitar 1929-1930, sehingga barang masuk impor minuman berkelas sudah berkurang.
Sementara kegemaran minum tetap ada di masyarakat, maka beralihlah ke cap tikus.
Cap tikus pun semacam naik kelas.
Cap tikus sempat dicap ilegal oleh pemerintah Belanda.
Di Masa penjajahan produksi, peredaran dan konsumsi cap tikus tetap berlangsung.
Upaya pemerintah Hindia Belanda membatasi dan memerangi minuman keras lokal tidak sepenuhnya berhasil, hingga di era Indonesia merdeka, cap tikus masih tetap ada dan digemari masyarakat Minahasa.
Perkembangan Cap Tikus
Captikus ini dalam perkembangannya melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa.
Sampai sekarang, masih populer istilah pancing dulu. Itu merujuk kepada kebiasaan saat hendak bekerja menengak miras dengan takaran tertentu.
Ada anggapan ini membuat orang jadi lebih kuat kerja, atau menengak ketika hendak makan, semacam resep untuk menambah nafsu makan
“Tradisi ini masih dipengaruhi kebiasaan serupa orang Eropa, ” kata dia.
Sampai tahun 1980 minum captikus itu ada campran akar-akaran dipercaya berkhasiat untuk kesehatan.
Acara khusus minum bersama, di Minahasa ada istilah captikus obat. Minum itu sekadarnya semisal untuk menghilangkan dingin si tubuh akibat hawa di daerah dataran tinggi di Minahasa.
Captikus pun kala itu belum jadi minuman untuk berpesta, atau kumpul -kumpul minum bersama, peran itu masih diisi oleh minuman saguer atau bir.
Mulai tahun 1990- an, berubah tren captikus itu jadi minuman saat kumpul bersama berkelompok
Belakangan berkembang varian rasa cap tikus, berkembang berdasar kebiasaan orang barat mencampur minuman beralkohol seperti cocktail.
Captikus yang mukai umum kemudian meniru rasa coktail. Artinya memberi rasa, maka mulai mucul varian rasa caltikus, saledo misalnya.
Varian minuman berbahan cap tikus pun beragam di pasaran, semisal merek-merek minuman produksi lokal berbahan dasar captikus.
Captikus tak sekadar jadi minuman, bahkan ikut digunakan dalam tradisi ritual, dan itu termasuk kekayaan tradisi budaya.
Selain diminum, masyarakat menggunakannya untuk membuat kue. Mula sebagai campuran adonan diberi minuman beralkohol bermerek Jenever, kemudian dipakai cap tikus. Akhirnya jadi bagian untuk resep kue.
Captikus juga digunakan sebagai bahan campuran makanan tradisional Minahasa yakni rw, berbahan daging anjing.
Untuk menghilangkan bau daging dicampurkan setengah botol cap tikus
Perkembanganmya cap tikus jadi komoditi perdagangan, bahan bakunya berasal dari pohon aren tersebar di wilayah Minahasa.
Daerah penghasil cap tikus di antaranya Motoling dan Langowan.
Nyatanya cap tikus berdampak terhadap ekonomi, ada multiplayer efek.
Banyak keluarga menggantungkan ekonomi dari usaha bater cap tikus sebagai mata pencaharian.
Membentuk jaringan yang jadi salah satu struktur dalam ekonomi masyarakat. (ryo)
Post Comment