Histori – Sejarah dan Makna Kitab Sutasoma: Penulis, Isi, dan Asal Mula Bhinneka Tinggal Ika
Jakarta – Kitab Sutasoma merupakan karangan Empu Tantular pada abad 14 M. Kakawin Sutasoma adalah peninggalan berupa karya sastra dari kerajaan Majapahit.
Kakawin dalam bahasa Jawa kuno berarti syair. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa kuno dan menggunakan aksara Bali.
Kitab Sutasoma telah ditulis kembali di atas daun lontar pada tahun 1851 dengan ukuran sebesar 40,5 X3,5 cm. Meski demikian, tidak diketahui siapa yang menuliskannya ulang.
Isi Kitab Sutasoma
Dilansir dari buku Pesona & Sisi Kelam Majapahit karangan Sri Wintala Achmad, Kakawin Sutasoma bertuliskan tentang “Mangkang jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hanadharmma mangrwa”.
Kitab ini digubah di bawah naungan Sri Ranamanggala. Gubahan dilakukan pada sekitar tahun 1365-1369 saat pemerintahan Hayam Wuruk.
Kitab Sutasoma adalah sebuah karya sastra yang unik karena cerita tokoh keturunan Pandawa telah diganti menjadi kisah Buddhis. Di dalamnya terdapat kisah hidup Sutasoma yang berpola cerita hidup Buddha dan kisahnya diambil dari cerita faktual.
Kakawin Sutasoma juga cenderung memaparkan peringatan tentang timbulnya gejala-gejala pertentangan antara keraton barat (Kusumawardhani/Wikramawardhana) dengan keraton timur (Bhre Wirabhumi). Pertentangan kedua keturunan Hayam Wuruk ini kemudian meletus menjadi perang secara bertahap yang dikenal sebagai Perang Paregreg.
Kitab Sutasoma berisikan pula anjuran agar pertentangan kedua kubu ini diselesaikan secara damai berdasarkan prinsip Buddhis. Kakawin ini juga menggambarkan bahwa Hayam Wuruk adalah penjelmaan raja Buddhis yang ideal.
Namun, karena Kakawin Sutasoma bersifat sangat mendidik, kitab tersebut tidak begitu digemari di Bali hingga saat ini.
Asal mula Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa Kakawin Sutasoma bercerita tentang agama Buddha Mahayana dan kaitannya dengan Siwa. Dikutip dari laman Kemdikbud, pada sebuah teks yang tercantum dalam kitab ini, dikatakan bahwa Buddha dan Siwa adalah berbeda.
Kendati begitu, keduanya dapat dikenali karena kebenaran Buddha dan Siwa merupakan hal yang tunggal. Berbeda, namun tunggal karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Kutipan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam Kitab Sutasoma terdapat pada pupuh 139 bait ke-5. Bunyinya seperti ini, “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.
Arti dari bait di atas adalah, “Konon Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.
Di samping itu, menurut buku Pasti Bisa Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD/MI kelas IV karya Tim Tunas Karya Guru, masyarakat Majapahit sudah mengenal berbagai agama, meskipun yang utama adalah Hindu dan Buddha.
Dan karena keragaman ini, pemerintah Majapahit menciptakan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrua” yang juga diambil dari Kitab Sutasoma. Tujuan diciptakannya semboyan ini adalah untuk menciptakan kerukunan beragama di antara rakyatnya.
Itulah sejarah Kitab Sutasoma beserta isi dan asal mula semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang kita kenal sekarang. Sangat menarik bukan, detikers?
Post Comment